Selasa, 24 Oktober 2017

Bumi Pertiwi



dekla

DEKLA YANG KANDAS


Bergulir waktu senantiasa membinasakan mata manusia
Hembusan angin tak hentihentinya menyambar pepohonan penuh
Putaran bumi pun tak dapat menghalangi edaran mentari dunia
Dengan iringan tarian tradisional prodak lokal
Perjumpaan kita memang tak pernah direncanakan
Perasaan inipun tak dapat lagi tuk digugurkan
Hingga terus bertarung melawan kenyataan
Duhai adek jelita
Wajahmu menandai rembulan yang tak pernah padam
Senyummu tak pernah luntur walau terkena sisnar mentari dan kerasnya hujan
Namun mengapa kini kau gugur tanpa sebab
Dan mundur dengan penuh rasa engab
Bukankah dulu ku sudah menuturkan betapa wajahmu sangat mengkilap
Menyinari setiap langkah yang tak pernah menyerah tuk menjaga setiap rasa yang terdalam padamu
Padahal namamu telah ku sowankan pada pohon rindang di lauhul mahfudz
Dan berlanjut dalam setiap do’a namamu ku sebut
Juga dzikir bayangmu yang selalu ku renung
Menjelma setiap lantunan ilahi yang tak mengenal rasa bingung
Menghantui realita yang penuh gelisah dan kegundahan pada Tuhan
Sebab manusia realita dan kehiduapan adalah firman dari sang Tuhan
Begitu juga dengan kasih sayangku padamu juga bagian dari berjuta firman
Yang abadi walau tertelan waktu dan tertimbun zaman yang menghasut setiap kepribadian
.........



taqwa

TAQWA AGAWE WONG KANG BENER, NANGING ILMU NANGING NETESKE WONG PINTER


Laisya kulu minterin beneran, walaisya kulu benerin minteran.
Gak kabeh wong pinter iku bener, lan gak kabeh wong bener iku pinter.
Timbangane dadi wong pinter tapi gak bener,isih luwih apik dadi wong bener masio gk pinter.
Soale minterke wong bener iku luwih gampang, timbang mbenerno wong pinter
Dadi dekne wis bener, garek mintterno tok,
Lah nek mbenerke wong pinter iku luwih angel
Soale dekne wis rumongso pinter
Gak kenek dibenerno.
Mergo roto-roto wong pinter nduwe aqidah

Namanya “Al Aqidatul Ngeyeliyah”

perpustakan

PENTINGNYA PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN BAGI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Guru merupkan subyek pendidikan yang terlibat dalam proses kegitan pembelajaran mulai pentransferan ilmu hingga perbuatan dan psikootoriknya, atau semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada orang ataupun kelompok tertentu. Walaupun pada awalnya fungsi guru memang mengajarkan pelajaran kepada siswa-siswinya namun disisi lain mereka juga perlu tahu akan bagaimana seorang pustakawanmelakukan pengellaan terhadap perpustakaannya. Terlebih sebagai guru Pendidikan Agama Islam sangatlah berperan dalam segala bidangnya, karena tidak menutup kemungkinan seandainya kelak sebagai tenaga pendidik yang berbasis agamis akan mendapatkan amanat untuk mengelolola sebuah perpustakaan baik milik sekolah maupun lembaga pendidikan terentu. Sedangkan perputakaan sendiri mrupakan sebua tempat yang didalamnya terdapat berbagai kolesi-koleksi perpustakaan yang tak menutup keungkinan didalamnya ada buku erkaitan dengan umum dan agama, disinilah sebagai tenga pendidik berbasis agama ini Guru Penidikan Agama Islam bisa berperan dalam pemetaan dan pengelolaan bersama kerja sama degan para pustakawan. Selain itu faktanya tidak semua Guru Pendidikan Agama Islam itu menjadi guru, namun ada juga beberapa diantara mereka yang menjadi pegawai kantor dan juga sebagai pengelola perpstakaan. Sehingga dalam proses perkuliahan ataupun pelatihan sebagai calon dan Guru Pendidikan Agama Islam sangatlah perlu mempelajari pegelolaan perpustakan. Selain itu dengan bertindak sebagai Guru Pendidikan Agama Islam sebagai Guru dalam pengelolaan perpustakaan sekolah memilik beberapa peran dianaranya, Menyediakan iformasi bahan ajar juga mengupayakan dari mana dan bagaimana cara memperoleh bahan-bahan ajar tersebut. Jika guru tidak melakukan peranya denga baik, maka hal itu akan menjadi salah satu penghambat pemanfaatan perpustakaan sekolah. Guru sebagai unci pembuka perpustakaan, artinya apabila guru tidak berupaya meotivasi peserta didik untuk pemanfaatan bahan pustaka maka peserta didik tidak tertari dan tidak berminat terhadap perpustakaan sekolah. Sebagai fasilitator karena guru mengetahui secara pasti sumber-sumber buku apa saja yang dibutuhkan oleh siswa. Peran guru sebagai fasilitator diantaranya adalah kwajiban untuk dapat menyediakan informasi bahan ajar danmegupaya darimana dan bagaimana cara memperoleh sumber-sumber belajar tersebut kepada penyelenggara perpustakaan maupun lewat kepala sekolah yang ada. Sehingga sebagai seorang Guru Pendidikan Agama Islam kita berperan dalam informasi bahan ajar PAI da sebagai pemuka / motivator pada peserta didik dan juga fasilitator kebutuhan para peserta didik tentang pembelajaran yang kita lakukan.


NAMA : MOH. ZAKI JAMALUDIN
NIM : 14410069

MK : Pengelolaan Perpustakaan Sekolah/Madrasah

fiqih

B. HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WAD’I

1. Pengertian Hukum Taklifi dan Hukum Wad’i, Kedudukannya dan Fungsinya

a. Pengertian
Hukum taklifi menurut bahasa berarti hukum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah yaitu ketentuan Allah SWT yang menuntut orang yang balig dan berakal sehat untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau bentuk pilihan untuk melakukan dan tidak melakukan suatu perbuatan. Sebagai contoh adalah perintah mendirikan sholat dan zakat, membunuh kecuali dengan alasan yang benar.

Hukum Wad’I mempunyai arti ketentuan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum. Misalnya sholat, menjadi sebab adanya kewajiban berwudhu.

b. Kedudukan dan fungsi
Kedudukan hukum taklifi dan wad’I menempati posisi yang utama dalam ajaran islam, karena hukum taklifi membahas sumber hukum islam yang utama, yaitu Al-Qur’an dan hadis dari segi perintah dan larangan.

Macam-macam hukum taklifi antara lain :

Al-ijab yaitu tuntunan secara pasti dari syariat untuk dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Al-Ijab mengandung hukum fardu’ain, seperti puasa ramadhan, sholat lima waktu, atau fardu kifayah, seperti mengurus jenazah.
An-Nadb yaitu tuntunan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala, tetapi apabila tidak dikerjakan pelakunya tidak mendapat siksa. An-nadb mengandung hukum sunnah ‘ain, seperti sholat sunnah rawatib, menjawab salam, dan sunnah kifayah seperti mendoakan seorang muslim yang sedang bersin dengan mengucap yarhamukallah.
Al-karahah yaitu sesuatu yang dituntut syar’I kepada mukallaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntunan yang tidak pasti. Al-karahah mengandung hukum makruh, seperti berjualan ketika adzan jum’at.
At-tahrim yaitu tuntunan syar’I untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntunan yang pasti. Bentuk hukum At-tahrim adalah haram, seperti meminum minuman keras, mencuri.
Al-Ibahah yaitu firman Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Bentuk hukum Al-Ibahah adalah Mubah, seperti makan makanan halah (nasi,sayur buah).

Bentuk hukum Wad’i adalah merupakan ketentuan-ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’(penghalang), batal, azimah, dan rukshah.

1. Sebab, yaitu suatu keadaan yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan menyebabkan tidak adanya hukum. Sebagai contohnya transaksi jual beli menyebabkan perpindahan hak milik dari penjual ke pembeli.
2. Syarat, yaitu sesuatu yang dijadikan syar’i, sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak syah perintah syar’I kecuali dengan syarat tersebut. Sebagai contoh menutup aurat adalah syarat sah sholat.
3. Mani’, yaitu suatu keadaan yang ditetapkan syar’I menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum, sebagai contoh Najis yang ada di badan atau pakaian menjadi penghalang syarat sah sholat.
4. Azimah dan Rukhsah
Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (Al-Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Contohnya kewajiban sholat lima waktu, haramnya memakan bangkai, daging babi.
Rukhsah yaitu ketentuan yang di syariatkan oleh Allah SWT sebagai keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan khusus. Contohnya bagi orang yang melakukan perjalanan jauh dapat menjama’ sholat.









HUKUB. Rukhsah dan Azimah
B.1  Pengertian azimah dan rukhsah
Azimah menurut kalangan para ahli ushul adalah
ما شرع من الأحكام الكلية ابتداء
Artinya: hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Hukum-hukum umum yang telah disyariatkan oleh Allah SWT sejak semula yang tidak dikhususkan oleh kondisi dan oleh mukallaf. Artinya belum ada hukum sebelum disyariatkan , sehingga sejak disyariatkan seluruh mukallaf wajib diikuti.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanyapembuat hukum bermaksud untuk menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum azimah ini berlaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kemashlahatan umum.
Kata-kata “hukum-hukum kulliyah (umum)” disini mengandung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau untuk sebagian waktu tertentu. Umpamanya shalat yang diwajibkan kepada semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji dan kewajiban lainnya.
Termasuk juga kedalam pengertian hukum azimah adalah hukum umum yang berlaku untuk suatu sebab. Sebab itu suatu ketika hilang dan bila telah berlaku lagi tersebut maka berlaku pula hukum. Umpamanya firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah-198:
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§‘ 4 !#sŒÎ*sù OçFôÒsùr& ïÆÏiB ;M»sùttã (#rãà2øŒ$$sù ©!$# y‰YÏã ̍yèô±yJø9$# ÏQ#tysø9$# (
198.  Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu Telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam[125
Ayat itu turun sesudah datang ayat sebelumnya (197) yang melarang beberapa perbuatan dalam melaksanakan ibadah haji:
kptø:$# ֍ßgô©r& ×M»tBqè=÷è¨B 4 `yJsù uÚtsù  ÆÎgŠÏù ¢kptø:$# Ÿxsù y]sùu‘ Ÿwur šXqÝ¡èù Ÿwur tA#y‰Å_ ’Îû Ædkysø9$# 3 $tBur (#qè=yèøÿs? ô`ÏB 9Žöyz çmôJn=÷ètƒ ª!$# 3 (#rߊ¨rt“s?ur  cÎ*sù uŽöyz ÏŠ#¨“9$# 3“uqø)­G9$# 4 Èbqà)¨?$#ur ’Í<’ré’¯»tƒ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÐÈ
197.  (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats[123], berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
2.   Hukum rukhsah adalah:
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر.
Artinya: hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur.
Hukum keringanan yang telah disyariatkan oleh Allah SWT atas orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan.
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa  rukhsah itu berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yan ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup  pengertian rukhsah, suatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan dalam makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada.
Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam defenisi ini agar mencakup rukhsah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi orang yang musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nabd (sunnah) seperti meninggalkan shalat jamaah karena hujan dan lain sebagainya.
Penggunaan kata “uzur” dalam definisi ini yang mengandung arti kesukaran dan keberatan, untuk menghindari dari cakupan arti rukhsah dalam dua hal:
Hukum yang berlaku dan ditetapkan dengan dalil lebih kuat yang menyalahi dalil lain yang lemah dari hukum itu. Diberlakukannya hukum yang datang belakangan bukan karena memberikan keringanan tetapi memang secara ketentuan harus dilakukan karena kekuatan dalilnya.
Taklif atau beban hukum semuanya merupakan hukum yang tetap menyalahi dalil asal dan yang menurut asalnya tidak ada taklif.
Adapun hukum yang ditetapkan dengan dalil nasakh karena mengandung kesukaran dalam pelaksanaannya juga tidak dinamakan rukhsah karena dalil yang dinasakh itu tidak dinamakan dalil kecuali dalam arti kiasan terhadap apa yang telah berlaku.
Penambahan kata “berat” pada sebagian definisi merupakan batasan selanjutnya bagi pengertian “rukhsah”, karena kata uzur saja dapat berarti kesukaran atau keberatan, sedang uzur yang berarti semata-mata kebutuhan tanpa adanya kesukaran tidak disebut rukhsah. Contoh uzur yang tidak berarti rukhsah umpamanya ditetapkannya hukum qiradh (investasi modal) yang sebenarnya menyalahi ketentuan syirkah yang mengharuskannya persyarikatan dalam modal dan usaha. Tetapi cara ini dinyatakan sah karena adanya kebutuhan yaitu ketidakmampuan pemilik modal dalam usaha, padahal disini tidak terdapat kesukaran apa-apa.
Memang kadang-kadang digunakan kata rukhsah untuk sesuatu yang dikecualikan oleh prinsip umum yang menghendaki larangan secara umum dan mutlak tanpa memandang pada sifat uzur besar yang harus ada padanya seperti contoh di atas: karena dalam salah satu hadist Nabi disebutkan: “Nabi merukhsahkan jual beli saham.”
Dengan membandingkan pengertian azimah dan ruhsah secara sederhana dapat dikatakan bahwa azimah adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan secara umum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib atau sunnah, baik larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhsah adalah keringanan atau kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.
Azimah adalah merupakan hak Allah atas hamba-Nya dan rukhsah adalah hak hamba dalam karunia dan kebijaksanaan Allah. Dalam bentuk ini antara rukhsah dengan hukum mubah terdapat kesamaan. Dan hal ini sesuai dengan pernyataan
المشقة تجلب التيسير    “kesulitan itu akan mendatangkan kemudahan”                                          ”
B.2 Macam-macam rukhsah
Pada dasarnya rukhsah itu adalah keringanan yang diberikan Allah sebagai pembuat hukum kepada mukallaf pada suatu keadaan tertentu yang berlaku terhadap mukallaf tersebut. Hukum keringanan ini menyalahi hukum asalnya. Macam-macam keringanan atau rukhsah dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Rukhsah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi menjadi dua, yaitu: rukhsah memperbuat dan rukhsah meninggalkan.
Rukhasah memperbuat adalah keringanan untuk melakukan suatu perbuatan yang menurut asalnya harus ditinggalkan. Inilah hukum azimahnya. Contohnya boleh memakan daging babi dalam keadaan terpaksa, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqorah-173.
Rukhsah meninggalkan adalah keringanan untuk meninggalkan perbuatan  yang menurut hukum azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnah). Dalam hukum asalnya adalah wajib atau sunnah. Tetapi dalam keadaan tertentu mukallaf tidak dapat melakukannya dalam arti bila melakukannya hal itu akan membahayakan dirinya. Umpamanya kebolehan meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan berdasarkan firman Allah surat al-Bawarah-184.
Termasuk pula ke dalam rukhsah ditinjau dari segi hukum asalnya ini ada dua macam rukhsah sebagai berikut:
Rukhsah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum islam yang dinilai terlalu berat untuk dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana dalam firman Allah surat al-Bawarah-286. Biala dilihat keringanan hukum dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam artian luas dapat pula disebut rukhsah.
Rukhsah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk akad yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Adanya rukhsah ini disebabkan oleh kebutuhan umum. Umpamanya jual beli saham, karena hal ini menyalahi ketentuan umum yang melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan.
2. Rukhsah ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan. Dalam hal ini keringanan ada 7 bentuk:
Keringan dalam bentuk menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan shalat jumat, haji, umrah dan jihad dalam keadaan uzur.
Keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti, mengqoshr shalat.
Keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban seperti: mengganti wushu dan mandi dengan tayammum, mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk.
Keringanan dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban seperti: pelaksanaan shalat zuhur dalam waktu shalat ashar pada jama’ ta’khir.
Keringanan dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban seperti: membayar zakat fitrah sejak awal Ramadhan, mendahulukan shalat ashar dalam waktu zuhur pada jama’ taqdiim.
Keringanan dalam bentuk merubah kewajiban seperti: cara-cara pelaksanaan shalat dalam perang yang berubah dari bentuk yang biasanya yang desebut shalat khauf.
Keringanan dalam bentuk membolehkan mengerjakan perbuatan haram dan meninggalkan perbuatan wajib seperti yang dijelaskan di atas.
3. Rukhsah ditinjau dari segi keadaan hukum  asal sesudah berlaku padanya rukhsah: apakah masih berlaku pada waktu ini atau tidak. Dalam hal ini ulama Hanafiyah membaginya menjadi dua:
Rukhasah tarfih (رخصة الترفيه) adalah rukhsah yang meringankan dari pelaksanaan hukum azimah tetapi hukum azimah berikut dalilnya ikut berlaku. Hanya pada waktu itu si mukallaf dapat meninggalkan atau melakukannya sebagai keringanan baginya. Umpamanya mengucapkan kalimat kufur yang terlarang dalam hukum azimah, akan tetapi dibolehkan bagi orang yang dipaksa selama hatinya tetap dalam keimanan, sebagaimana dalam surat al-Nahl-106.
Rukhsah isqath (رخصة الإسقاط) adalah rukhsah yang menggugurkan hukum azimah terhadap pelakunyasaat keadaan rukhsah itu berlangsung. Dalam keadaan rukhsah itu maka hukum yang berlaku bagi orang yang terpaksa adalah hukum rukhsah, bukan hukum azimah karena ada saat itu hukum azimah tidak berlaku lagi atasnya. Umpamanya mengqoshr shalat.
B.3 Hukum menggunakan rukhsah
Pada dasarnya rukhsah adalah pembebasan seorang mukallaf  dari melakukan tututan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya boleh, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang perintah. Namun dalam hal menggunakan hukum rukhsah bagi orang yang memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhsah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya rukhsah itu. Dengan demikian menggunakan hukum rukhsah itu dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapat makanan halal, sedangkan ia khawatir jika tidak menggunakan rukhsah akan membahayakan dirinya. Hukum rukhsah adapula yang sunnah seperti berbuka ouasa Ramadhan bagi orang sakit dan musafir. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jual beli saham.
UKUM TAKLIFI DAN HUKUM WAD’I (AGAMA ISLAM)
Start here

 1. Pengertian hukum syara’(hukum taklifi dan wadh’i)
            Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan “syara”. Hukum  secara etimologi(bahasa) berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan ‘seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat mengikat untuk seluruh anggota masyarakatnya’.
            Kata syara’ secara etimologi berarti “jalan,jalan yang bisa dilalui air”. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT, dengan cara beribadah kepada Nya.
            Bila kata hukum di padukan dengan kata syara’ yaitu “hukum Syara’” akan berarti ‘seperangkat  peraturan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang  diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.
            Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu:
A.    Hukum Taklifi
   Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan  dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya,
Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu:[1]
 
a.      Tuntutan untuk memperbuat secara pasti, yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat ganjaran dan apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman Allah Swt, yang disebut dengan istilah “wajib”.
Contohnya: mengerjakan shalat, puasa, dan sebagainya.
1.      Pembagian wajib ditinjau dari segi wakyu pelaksanaan.
a.)      Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh syara’
b.)      Wajib muaqqad
Yaitu kewajiban yang waktu pelaksanaannya ditentukan dan tidak sah bila dilakukan diluar waktu tersebut. Contohnya puasa ramadhan. Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Wajib muwassa’
Yaitu kewajiban yang waktu untuk melakukan kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu.  contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya dari petang sampai subuh.
 Wajib mudhayyaq
Yaitu suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban itu sendiri. Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
Wajib dzu syahnaini
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
 
2.      Pembagian wajib dari segi pelaksana.
Wajib ‘ain
 Wajib kifayah
3.      Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.
 Wajib muhaddad
Kewajiban yang ditentukan kadarnya.  contoh : zakat
 Wajib ghairu muhaddad
Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya.
4.      Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.
 Wajib mu’ayyan.
 Wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
 Wajib mukhayyar.
 Wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
 
b. Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti, dengan arti perbuatan itu dituntut untuk di kerjakan. Yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan mendapat ganjaran di sisi Allah Swt. Dan apabila ditinggalkan tidak mendapat ancaman dari Nya, yang dikenal dengan istilah “Nadb(sunat)”.
Contohnya: sedekah, berpuasa pada hari senin dan kamis, dll.
            Mandub(sunah) dibagi menjadi;
1.      Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut. Sunah terbagi dua;
Sunah muakkadah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh nabi disamping ada keteranganyang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu hal yang fardhu.
Sunah ghairu muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh nabi, tetapi nabi tidak melazimkan dirinya dengan perbuatan tersebut.
 
2.      Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi tiga, yaitu;
Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dianggap sesat. Contohnya shalat hari raya.
 Sunah zaidah
Yaitu sunah yang bila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Yaitu kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan tidak dicela bila ditinggalkan.
 
Sunah nafal
Yaitu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi ibadah wajib.[3]
 
c. Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka ia akan mendapat ancaman dari Allah Swt. dan apabila ditinggalkan maka ia akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “haram”.
            Ulama hanafiyah menjabarkan hukum haram menjadi dua berdasarkan dalil yang menetapkannya.Tuntutan dan larangan secara pastiyang ditetapkan oleh dalil dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Contohnya: memakan harta anak yatim, memakan harta riba,dll.
 
d. Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti. Yaitu suatu pekerjaan yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan bila ditinggalkan akan mendapat pahala, yang dikenal dengan istilah “karahah (makruh)”.
Contohnya: merokok,dll.
 
Catatan untuk perkara yang mubah :
1.       Jangan berlebihan.
2.       Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau tanpa ada     maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana kemaslahatan yang lain.
3.       Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
 
e. Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut “ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut “mubah”.
Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji, dll.
          
B. Hukum Wadh’i
   Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
           
Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:
1.    Sebab
Menurut istilah syara’sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu menyebabkan tidak adanya hukum. Atau sesuatu yang pasti yang menjadi asas terbentuknya sesuatu hukum. Sekiranya ia wujud, maka wujudlah hukum dan sekiranya ia tidak wujud, maka tidak wujudlah hukum berkenaan.  Sebagai contoh, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT: Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu…(al-Baqarah: 185)
Demikian juga Allah SWT mengharuskan untuk mengqasarkan shalat sekiranya berada dalam keadaan musafir.
Firman Allah SWT: Dan apabila kamu musafir di muka bumi, maka kamu tidaklah berdosa mengqasarkan (memendekkan) sembahyang…(an-Nisa’: 101) Melalui dua contoh di atas, kita dapat memahami bahawa melihat anak bulan menjadi sebab wajibnya berpuasa, manakala musafir menjadi sebab keharusan shalat secara qasar.
 
2.    Syarat
Hukum wad’i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i (Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu.
 
Misalnya:
 Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat.
 Adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat.
Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu:
1.)Syarat ‘aqli
seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya pahammenjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.
 
2.)Syarat ‘adli
artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran.
3.)Syarat syar’i
 
3. Mani’ (penghalang)
    Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani’.
Sebagai contoh, dalam hukum faraid, pertalian darah adalah menjadi sebab yang membolehkan pewarisan harta. Syaratnya juga telah wujud disebabkan salah seorang daripada keduanya telah meninggal dunia.
Namun begitu, sekiranya ada mani’, maka pewarisan harta tidak boleh berlaku.
Sebagai contoh, mani’ yang menghalang pewarisan harta ialah perbezaan agama berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Orang kafir tidak mewarisi pusaka orang Islam dan orang Islam tidak mewarisi pusaka orang kafir (riwayat Ahmad).”
Pusaka juga terhalang sekiranya salah seorang adalah pembunuh kepada pihak kedua. Ini berasaskan sabda Rasulullah SAW: “Pembunuh tidak berhak mendapat harta warisan (riwayat An- Nasa’i dan Al-Baihaqi).”
Demikian juga, hukuman qisas juga terhalang sekiranya si pembunuh adalah bapa kepada mangsa yang dibunuh.
 
4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i yaitu:
 
    Shah , yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah terhindar dari semua mani’.
Misalnya;
Shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh (berhadast)
    Bathal , yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang menghalanginya.
Misalnya:
Shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.
 
5. Azimah dan Rukhsah
    Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (Al-Qur’an dan Hadis) dan berlaku umum. Misalnya: Kewajiban salat lima waktu dan puasa Ramadan. Haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Sedangkan Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan khusus. Sebagai contoh:
Diperbolehkannya memakan bangkai bagi seorang mukallaf dalam keadaan darurat, meskipun pada dasarnya bangkai haram hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Syariah
Karena fiqh berkaitan erat dengan syariah atau bahkan syariah merupakan induk dari fiqih, maka sebelum membicarakan pengertian fiqh terlebih dahulu dijelaskan arti syariah itu.
Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-'Arab menyatakan:

والشر يعة واشراع والمشرعة : المواضع التي ينحدر إلى الماء منها
"Kata al-syarii'ah, al-syarraa', dan al-masyra'ah bermakna al-mawaadli'
allatiy yunhadaru ila al-maa' artinya: tempat-tempat yang darinya dikucurkan air.
Berkata al-Laits, al-syarii'ah dinamakan juga dengan syariat yang
disyariatkan (ditetapkan) Allah swt kepada hamba, mulai dari puasa, shalat,
haji, nikah dan sebagainya. Sedangkan kata al-syir'ah dan al-syir'ah, menurut bahasa Arab artinya adalah مشرعة الماء )masyra'at al-maa'( yang berarti sumber air, yakni:
مورد الشاربة التي يشرعها الناس فيشربون منها ويستقون
maurid al-syaaribah allatiy yasyra'uhaa al-naas, fa yasyrabuuna minhaa wa yastaquuna (sumber air minum yang dibuka oleh manusia, kemudian mereka minum dari tempat itu, dan menghilangkan dahaga).
Secara leksikal kata Syariah berasal dari bahasa Arab yang berarti “jalan yang harus diikuti” atau “jalan menuju sumber mata air”. Pada dasarnya Syariah merupakan jalan mencapai keridhaan Allah, serta merupakan petunjuk bagi seluruh ummat manusia. Kata syariah atau yang se-akar dengan itu muncul beberapa kali dalam al-Quran seperti dalam:
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ila sh shiraathil mustaqiimi.” Artinya hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syariah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
Dari ayat al-Quran tersebut di atas, “agama” ditetapkan Allah untuk manusia yang disebut “syariat” dalam arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan di dunia. Kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syariah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia. Di antara para pakar hukum Islam memberikan definisi syariah yakni: Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak. Dengan demikian syariah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah. Walaupun pada mulanya syariah itu diartikan agama sebagaimana disinggung Allah dalam Surat al-Syura ayat 13, kemudian dikhususkan penggunaannya untuk hukum amaliyah, karena agama pada hakikatnya berlaku universal sementara syariah diberlakukan untuk masing-masing umat yang kemungkinan berbeda dengan umat sebelumnya. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
2. Pengertian Fiqh
Al-fiqh = paham yang mendalam. Salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun hubungan manusia dengan Penciptanya.
Secara semantic kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik”. Sedang menurut istilah fiqh adalah:
الفقه هو العلم بالاحلكام الشرعية العملية المكسب من أدليها التفصيلية
Artinya:
Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah yang dikaji dari dalil-dalil terperinci.
Selain itu terdapat beberapa definisi fiqh yang dikemukakan ulama fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah, muamalah dan akhlak. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai ilmu tentang hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh melalui dalil yang terperinci. Definisi tersebut dikemukakan oleh Imam al-Amidi, dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang.
Ulama usul fiqh menguraikan kandungan definisi ini sebagai berikut:
Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan sadd az-Zari'ah (az-Zari'ah);
Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah, yaitu Kalamullah/Kitabullah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk perintah untuk berbuat, larangan, pilihan, maupun yang lainnya. Karenanya, fiqh diambil dari sumber-sumber syariat, bukan dari akal atau perasaan;
Fiqh adalah ilmu tentang hukum syar'iyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah. Atas dasar itu, hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk fiqh, karena fiqh adalah hukum syara' yang bersifat praktis yang diperoleh dari proses istidlal atau istinbath (penyimpulan) dari sumber-sumber hukum yang benar; dan
Fiqh diperoleh melalui dalil yang tafsili (terperinci), yaitu dari Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, qiyas, dan ijma' melalui proses istidlal, istinbath, atau nahr (analisis). Yang dimaksudkan dengan dalil tafsili adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum tertentu. Misalnya, firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 43: "...dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat..." Ayat ini disebut tafsili karena hanya menunjukkan hukum tertentu dari perbuatan tertentu pula, yaitu shalat dan zakat adalah wajib hukumnya. Dengan demikian menurut para ahli usul fiqh, hukum fiqh tersebut tidak terlepas dari an-Nusus al-Muqaddasah (teks-teks suci). Karenanya, suatu hukum tidak dinamakan fiqh apabila analisis untuk memperoleh hukum itu bukan melalui istidlal atau istinbath kepada salah satu sumber syariat.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Fathi ad-Duraini (ahli fiqh dan usul fiqh dari Universitas Damascus), fiqh merupakan suatu upaya memperoleh hukum syara' melalui kaidah dan metode usul fiqh. Sedangkan istilah fiqh di kalangan fuqaha mengandung dua pengertian, yaitu:
1. Memelihara hukum furu' (hukum keagamaan yang tidak pokok) secara mutlak (seluruhnya) atau sebagiannya; dan
2. Materi hukum itu sendiri, baik yang bersifat qath'i (pasti) maupun yang bersifat dzanni (relatif) (Qath'i dan Zanni).
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa (ahli fiqh dari Yordania), fiqh meliputi:
1. Ilmu tentang hukum, termasuk usul fiqh; dan
2. Kumpulan hukum furu'.
Sejarah Fiqih
Masa Nabi Muhammad saw
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalahan aqidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan shalat, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah di tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.
Masa Awal Pertumbuhan Fiqih
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriyah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan Ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
Sumber Perumusan Fiqh
Yang dimaksud dengan sumber di sini adalah apa saja yang dijadikan bahan rujukan ulama dalam merumuskan fiqh. Dalam hal ini terdapat sumber fiqh yang disepakati dan sumber fiqh yang masih diperselisihkan:
a. Sumber fiqh yang disepakati
 Al-Quran al-Karim
 Sunnah Nabi
 Ijma’ Ulama
 Qiyas
b. Sumber fiqh yang masih diperselisihkan
 Istihsan
 Al-Maslahat al-Mursalah
 Al-Istishab
 Urf atau adat
 Qaul Shahabi
 Syara’ umat sebelum Islam
 Saad al-Zari’ah
3. Pengertian Hukum
Perkataan hukum dari segi bahasa berasal dari akar kata ح ,ك , م (حكم), yang berarti “mencegah” atau “menolak”. Mencegah ketidaka adilan, kecaliman dan penganiayaan disebut hukum (الحكم).
Al-Ahkam ( الأحكام ) adalah bentuk jamak dari hukum (حكُمٌ), secara bahasa maknanya adalah keputusan/ketetapan ( القَضَاءُ ). Dan secara istilah:
خطاب اشارع المتعلق بالإقتضاء طلبا أوتخييرا أو وضعا
"Firman pembuat syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadl’iy (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum".
"seruan syari'at" : Al-Qur'an dan as-Sunnah.
 "yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf": apa-apa yang berhubungan dengan perbuatan, baik itu masih perkataan atau perbuatan, melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Maka apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, maka tidak dinamakan hukum secara istilah.
"mukallaf" : siapa saja yang keadaannya dibebani syari'at, maka mencakup anak kecil dan orang gila.
"dari tuntutan": perintah dan larangan, baik itu sebagai keharusan ataupun keutamaan.
"atau pilihan": mubah (hal-hal yang dibolehkan)
"atau peletakan": Sah, rusak,
dan yang lainnya yang diletakkan oleh pembuat syari'at dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan.
Hukum syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi ‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia, yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan (takhyir), atau wadha’.
Contoh hukum syara’, perintah langsung Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil (73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan zakat.
Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!” [QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat zina.
Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul (bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat berburu atau tidak.
Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong tangan.
Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mubah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].
Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:
a. Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]
b. Haram. Haram adalah sesuatu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.
c. Mandub (sunnah). Mandub adalah permintaan syari’ untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan permintaan yang tidak tegas, atau sesuatu perbuatan dimana pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, atau perbuatan di mana pelakunya terpuji sedang meninggalkan tidak tercela menurut syara’, atau yang lebih baik/rojih melakukannya dan boleh meninggalkannya.
d. Makruh. Makruh adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.
e. Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.) antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu tidak ada yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan minumlah kamu sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa, dan tidak ada celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang dimubahkan.
2. Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesuatu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.
 Sebab, sesuatu yang nampak dan jelas yang dijadikan oleh Syari’ sebagai penentu adanya hukum.
Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.
 Syarat adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan kalau syarat tidak terpenuhi, maka perbuatan taklifnya secara hukum tidak terwujud.
Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
 Mani’ adalah suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum yang lain. Adanya mani’ tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan. Dengan demikian, maka mani’ tidak lebih dari sebab yang dapat menghalangi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum, atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum.
Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah. Contoh lainnya adalah seperti nishab itu merupakan sebab diwajibkannya seseorang membayar zakat, namun kalau pemilik barang itu mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak wajib membayar zakat. Dengan demikian hutang itulah yang dimaksud dengan mani’ sekaligus menjadi sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat.
Perbedaan Antara Hukum Taklify dan Wadh’i
1. Hukum taklify dimaksudkan untuk menuntut/melarang atau membolehkan pemilihan sesuatu perbuatan sedangkan hukum wadh’i hanya menjelaskan sesuatu itu adalah sebab, syarat atau mani’
2. Hukum taklify selalu dalam batas-batas kemampuan mukallaf sesuai dengan keadilan tuntutan/taklif, sedangkan hukum wadh’i tidak selamanya ada dalam kemampuan mukallaf.





ttd; Bapak Munawwar Khalil

jurnal

Nama : Moh. Zaki Jamaludin
NIM : 14410069
Tugas : Review Jurnal Pendidikan
MK : Metodologi Penelitian


  1. Jurnal Pendidikan Agama Islam oleh FITK UIN SUNAN KALIJAGA Vol.XII, No. 2. Desember 2015 tentang pendidikan agama islam. Penelitian ini menyatakan bahwa islam sejak awal diturunkan telah mewaspadai hal akhlak , sesuai dengan tujuan diutusnya Rasul. Pendidikan akhlak bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dengan kata lain sebagaimana dinyatakan al attas pendidikan islam bertujuan menciptakan manusia yang baik. (wan Daud, 2003:107). Diantara tradisi pendidikan islam sampai saat ini yang masih dipertahankan adalah pengajian kitab dengan sorogan dan weton. Teknik pertama menunjukkan pada teknik invidual, sedangkan teknik kedua menunjukkan missal.(syihabuddin,2011:275). Tradisi ini cukup efektif dalam membina karakter santri karena menuntut kedisiplinan, ketekunan, kesabaran, kepatuhan, dll. Hal ini dikembangkan pula dalam General Education di Barat, Robert Newton (Newton,2000:196) menyebut great books model. Dalam model ini dikembangkantradisi pembiasaan, teladan,intelektual, minat, dan nilai-nilai diperkuat dengan tujuan untuk menjamin pelestarian dan kemajuan warisan budaya.1
  2. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al Ghazali oleh Nur’Aini Ahmad, Jurnal Pendidikan Islam halaman 40 Vol.VIII,No. 1 Januari-Juni 2005. Pendidikan akhlak/moral menurut al Ghazali merupakan pendidikan mengenai dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak-anak sejak mumayyiz hingga hingga mukallaf, pemuda yang mengarungi kehidupan. (al Ghazali,1980:174). Beliau juga menjelaskan keutamaan moral sebagai buah iman yang mendalam dan perkembangan religious yang benar. Jika sejak kanak-kanak ia berpijak pada keimanan kepada Allah SWT ia terdidik selalu taat dan berserah diri padanya. Maka kebiasaan yang dicontohkan mengiingat Allah telah menguasai fikirannya. Bahkan penerimaannyaterhadap suatu kebaikan akan menjadi salah satu kebiasaan yang dicontohkan. 2
  3. Tadris Jurnal Pendidikan Islam, tentang Pendidikan Akhlak dalam Pandangan Al Ghalayaini. Beliau menyatakan pendidikan akhlak menjadi perhatian utama al Ghalayaini dan menjadi prasyarat untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi manusia-manusia yang beradab dan bertanggungjawab. Selain itu beliau juga mengatakan bahwa pendidikan akhlak merupakan hal yang sangat penting dan berharga. Sehingga dalam pelaksanaannya pendidikan akhlak harus senantiasa diperhatikan dengan seksama terlebih bias dicontohkan oleh pendidik sehingga yang dididik dapat menerima dengan rasa terbuka dan saling berbahagia.3
  4. Jurnal kuriositas, tentag Pendidikan Akhlak dalam upayamembina kepribadiasiswa MAN 2 Prepare. Pendidikan akhlak muli dan budi pekerti luhur harus ditanamkan kedalam jiwa anak, hendanya dilakukan sejak kecil sampaai ia mampu hidu dengan usaha dan tangannya sendiri hingga memiliki kepribadian yang kuat.menanamkan akhlak pada jiwa anak dengan memberi petunjuk denagn contoh dan nasihat yang berguna sehingga ajaran yang mereka terima meresap dalam jiwanya. Upaya membina kepribadian siswa berfungsi sebagai panduan agar mampu memilihdan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menentukan baik dan buruknya. Membina kepribadia yang di maksud disini adalah pembiaan mencakup kebiasaan, sikap, dan sifat /sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang yang membedakan dengn orang lain.4

1 Jurnal Pendidikan Agama Islam oleh FITK UIN SUNAN KALIJAGA Vol.XII, No. 2. Desember 2015 tentang pendidikan agama islam. Hal. 142
2 Pendidikan Akhlak menurut Al Ghazali, Nur’aini ahmad. Jurnal pendidikan islam, hal.40. 2005
3 Tadris Pendidikan Islam, Vol 7 No. 1 Juni 2012.Pendidikan Akhlak Dalam Pandangan Al Ghalayaini. 2014.hal.95-100

4 Jurnalkuriositas.blogspot.com.