Agama bagi bangsa Indonesia
merupakan aset paling berharga. Sedemikian
berharganya agama bagi Indonesia ini termaktub jelas dalam sila pertama
dari Pancasila (KeTuhanan Yang Maha Esa). Jelas dan sangat jelas! Sila pertama
itu tidak merujuk pada agama tertentu. Pun dengan agama mayoritas sekalipun.
Akan tetapi, hal yang fardhu kita perhatikan dengan seksama, yakni
setidak-tidaknya prinsip keagamaan secara universal terkandung dalam sila
pertama idelogi negara: Pancasila.
Bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa beragama tanpa harus menjadi “Negara Agama”, bukan semata-mata dimaknai
sebagai kemenangan politis atas beberapa pertimbangan bentuk negara Indonesia.
Oleh para pendiri bangsa Indonesia ada yang mengharapkan ia menjadi “Negara
Agama” dan ada usul untuk menjadikannya “Negara Sekuler”. Beruntung keduanya
belum sempat terpilih. Sebab “Negara Pancasila” yang dipilih. Dan kembali
penulis tegaskan, hal itu bukan kemenangan politis komunitas tertentu.
Melainkan konsensus bersama perwakilan komunitas atas nama bangsa Indonesia.
Dari kesepatakan bentuk final negara tadi lahir golongan berjuluk nasionalis-religius.
Yaitu mereka yang yakin—secara bersamaan—akan nilai-nilai luhur dari agama dan
bangsa secara kolektif, tidak setengah-setengah.
Sempat isu bentuk negara ini
begitu menohok dikala frasa Islam menjadi kata kunci dalam Piagam Jakarta—sebelum
direvisi karena penolakan dari umat penganut beragama yang lain. Penghapusan
itu, pasti dibarengi dengan kekhawatiran akan terbentuknya Negara Agama, yang
konstitusi berdasarkan dan diatur oleh kaidah agama (tertentu). Begitu pula
dengan bentuk Negara Sekuler, agama dinafikan dalam pantauan negara dan begitu
sebaliknya.
Tapi dalam bentuk Negara
Pancasila duduk perkaranya menjadi jelas. Kejelasannya ditandai dengan batasan
peranan Negara dan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan bergama. Negara
berfungsi hanya sebagai fasilitator alias membantu. Sedangkan masyarakat justru
yang harus berperan menentukan hidup matinya agama di negeri ini. Nilai yang
terkandung dalam prinsip itu, termaktub dalam kitab Suci Al-Qur’an: “Tak ada
paksaan dalam beragama. (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan
mana yang palsu. (Laa ikraha fi ad-din qodtabayyana ar-rusydu min al-ghayyi)”
(Al-Baqarah [2];256). Jelas dalam ayat ini, negara sama sekali tidak berperan.
Masyarakatlah yang menentukan kebenaran atau kepalsuan yang mereka pilih dalam
keberlangsungan hidup beragamanya. Jika seluruh agama bisa saling menghormati,
mereka bebas hidup di negeri ini tanpa ada sama sekali intervensi dari
pemerintah, sekalipun mereka tidak suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar