Minggu, 17 Desember 2017

abstary

Agama bagi bangsa Indonesia merupakan aset paling berharga. Sedemikian berharganya agama bagi Indonesia ini termaktub jelas dalam sila pertama dari Pancasila (KeTuhanan Yang Maha Esa). Jelas dan sangat jelas! Sila pertama itu tidak merujuk pada agama tertentu. Pun dengan agama mayoritas sekalipun. Akan tetapi, hal yang fardhu kita perhatikan dengan seksama, yakni setidak-tidaknya prinsip keagamaan secara universal terkandung dalam sila pertama idelogi negara: Pancasila.
Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa beragama tanpa harus menjadi “Negara Agama”, bukan semata-mata dimaknai sebagai kemenangan politis atas beberapa pertimbangan bentuk negara Indonesia. Oleh para pendiri bangsa Indonesia ada yang mengharapkan ia menjadi “Negara Agama” dan ada usul untuk menjadikannya “Negara Sekuler”. Beruntung keduanya belum sempat terpilih. Sebab “Negara Pancasila” yang dipilih. Dan kembali penulis tegaskan, hal itu bukan kemenangan politis komunitas tertentu. Melainkan konsensus bersama perwakilan komunitas atas nama bangsa Indonesia. Dari kesepatakan bentuk final negara tadi lahir golongan berjuluk nasionalis-religius. Yaitu mereka yang yakin—secara bersamaan—akan nilai-nilai luhur dari agama dan bangsa secara kolektif, tidak setengah-setengah.
Sempat isu bentuk negara ini begitu menohok dikala frasa Islam menjadi kata kunci dalam Piagam Jakarta—sebelum direvisi karena penolakan dari umat penganut beragama yang lain. Penghapusan itu, pasti dibarengi dengan kekhawatiran akan terbentuknya Negara Agama, yang konstitusi berdasarkan dan diatur oleh kaidah agama (tertentu). Begitu pula dengan bentuk Negara Sekuler, agama dinafikan dalam pantauan negara dan begitu sebaliknya.
Tapi dalam bentuk Negara Pancasila duduk perkaranya menjadi jelas. Kejelasannya ditandai dengan batasan peranan Negara dan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupan bergama. Negara berfungsi hanya sebagai fasilitator alias membantu. Sedangkan masyarakat justru yang harus berperan menentukan hidup matinya agama di negeri ini. Nilai yang terkandung dalam prinsip itu, termaktub dalam kitab Suci Al-Qur’an: “Tak ada paksaan dalam beragama. (karena) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana yang palsu. (Laa ikraha fi ad-din qodtabayyana ar-rusydu min al-ghayyi)” (Al-Baqarah [2];256). Jelas dalam ayat ini, negara sama sekali tidak berperan. Masyarakatlah yang menentukan kebenaran atau kepalsuan yang mereka pilih dalam keberlangsungan hidup beragamanya. Jika seluruh agama bisa saling menghormati, mereka bebas hidup di negeri ini tanpa ada sama sekali intervensi dari pemerintah, sekalipun mereka tidak suka.






by afrizal qosim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar