HUKUM ADAZAN BERSAHUT-SAHUTAN
Ulama’ berbeda pendapat
mengenai hukum azan, ada yang mengatakan sunah muakkad dan ada yang mengatakan
fardu kifayah. Dalam mazhab syafii azan adalah sunah kifayah bagi orang banyak
dan sunah ain bagi satu orang, mazhab hanafi mengatakan azan adalah sunah kifayah yang muakkad bagi satu penduduk
daerah, mazhab Maliki mengatakan azan adalah sunah kifayah di setiap masjid
atau di tempat berkumpulnya orang-orang untuk melakukan solat jamaah, sedangkan
menurut mazhab Hambali azan adalah fardu kifayah untuk solat waktu ketika sudah
masuk waktu.[1]
Dewasa ini, kita pasti
sering mendengar azan yang bersahut-sahutan (terjadi beberapa kali). Di indonesia, masjid sangat
banyak jumlahnya bahkan hampir di setiap lokasi ada masjid atau musholla dan hampir semua masjid menggunakan speaker atau pengeras suara. Bagi orang
islam azan mungkin hal yang wajar (bernuansa syariat), akan tetapi apabila kita
berada di lingkungan non-muslim atau lingkungan umum yang tidak semua menyukai
azan dengan menggunakan pengeras suara, bagaimana cara kita bertoleransi dalam
hal azan? Karena tidak bisa dimungkiri bahwa ada beberapa anggota masyarakat
yang merasa terganggu dengan adanya azan yang menggunakan pengeras suara dan
itu terjadi berulang-ulang (bersahut-sahutan).
Dari realita yang terjadi di
masyarakat seperti itu dan hukum azan menurut 4 mazhab maka menurut hemat
penulis jika kita berada di lingkungan non muslim atau di lingkungan umum yang
tidak semuanya menyukai adanya azan dengan pengeras suara maka kita sebagai
muslim harus menghargai itu dan menyesuaikan keadaan yang ada, karena agama
islam adalah agam yang damai dan cinta kedamaian. Apabila terjadi masalah
seperti itu maka kita harus menggunakan pendapat yang mengatakan bahwa azan
hukumnya sunah kifayah bagi orang banyak
di suatu daerah, seperti pendapat mazhab syafii. Jadi, kita mengumandangkan
azan sekali saja meskipun di lingkungan kita terdapat banyak mushollah atau
masjid (tidak mengulang-ulang azan).
Untuk hukum menjawab azan yang
berulang-ulang An-Nawawi menjelaskan tentang hukum menjawab azan yang berulang
di satu tempat,
فيه
خلاف للسلف حكاه القاضي عياض في شرح صحيح مسلم، ولم أر فيه شيئاً لأصحابنا،
والمسألة محتملة، والمختار أن يقال: المتابعة سنة متأكدة، يكره تركها، لصريح
الأحاديث الصحيحة بالأمر بها، وهذا يختص بالأول، لأن الأمر لا يقتضي التكرار وأما
أصل الفضيلة والثواب في المتابعة، فلا يختص، والله أعلم
Ada perbedaan pendapat ulama, seperti yang dinyatakan al-Qadhi Iyadh
dalam Syarh Sahih Muslim. dan saya tidak menjumpai pendapat masalah ini pada
ulama madzhab Syafiiyah. Dan permasalahan ini ada beberapa kemungkinan.
Kesimpulan yang lebih tepat bahwa menjawab azan hukumnya sunah muakkad
(ditekankan), makruh jika ditinggalkan, berdasarkan hadis sahih yang secara
tegas memerintahkannya. Dan ini hanya khusus untuk menjawab azan yang pertama.
Karena perintah tidak menunjukkan harus diulang. Hanya saja, keutamaan dan
pahala menjawab azan, tidak hanya khusus untuk menjawab azan yang pertama.
Allahu alam. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/119).
Dengan demikian, jika kita
mendengar azan yang berulang-ulang, cukup dijawab yang paling dekat dengan
kita, meskipun boleh saja menjawab yang lain, dan kita tetap mendapatkan
keutamaan menjawab azan.[2]
created by ; Mohammad Chaudi Al-Anshori
[1]
Asmaji Muchtar. Dialog
Lintas Mazhab. (Jakarta : Amzah 2015). hlm. 150-151.
[2]
Konsultasi Syariah. “apakah
harus menjawab semua azan atau cukup satu”. Dalam https://konsultasisyariah.com.html.
Diakses pada tanggal 03 maret 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar