KONSEP TRILOGI PENDIDIKAN KI HAJAR
DEWANTARA
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Ringkasan Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian
Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu Pendidikan
Disusun Oleh:
MOH. ZAKI JAMALUDIN
14410069
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
ABSTRAK
MOH. ZAKI
JAMALUDIN. Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya
dengan Pendidikan Agama Islam.Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2017. Latar belakang
penelitian ini berangkat dari kegelisahan peneliti terkait dengan beberapa
kasus dalam dunia pendidikan dalam semua aspek.
Penelitian ini
adalah library research menggunakan metode dokumentasi dengan
mengumpulkan beberapa karya dari Ki Hajar Dewantara.
Hasil
penelitian menunjukkan pada ; 1) Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan
tata cara pelaksanaan dalam dunia pendidikan, 2) Relevansi konsep Trilogi
Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan PAI.
Kata Kunci : Konsep Trilogi Pendidikan, Ki Hajar Dewantara,
Pendidikan Agama Islam (PAI)
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Problem moral dan asosial yang
menjangkit bangsa kita merupakan bagian
nyata suatu kegagalan dari pendidikan dan sistem pendidikan kita
terlebih dalam masalah sosial kultural, padahal pada masa klasikal pendidikan bangsa
kita selalu mengharapkan kualitas pendidikan yang maju serta mumpuni dan juga
berkarakter, akan tetapi pada kenyataanya hingga kini pendidikan yang dikatakan
sudah maju dengan teknologi informasinya justru sering lebih mengarah pada
output pendidikan yang abnormal dan anti sosiokultural. Dari beberapa
pertimbangan, peneliti beranggapan pentingnya mengungkap kembali konsep
pendidikan klasikal yang telah lama mati terkait Konsep Triogi Pendidikan Ki
Hajar Dewantara, dan akan peneliti relevansikan dengan Pendidikan Agama Islam.
Bangsa ini perlu
mewarisi dan merevitalisasi buah
pemikiran
Ki Hajar Dewantara secara kontekstual dalam praksis pendidikan. Karena dalam
sisi visi yang dicanangkann ia memandang tujuan pendidikan secara integratif
dan humanis, yakni memajukan manusia indonesia secara terintegrasi dalam
potensi-potensinya dan terbuka untuk setiap golongan dan lapisan rakyat. Dalam
perspektif ini pendidikan adalah hak semua golongan yang prosesnya mesti
didasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi, sehingga Negara perlu dan
harus memberikan pendidikan secara adil dan merata tanpa memebedakan berbagai
macam hal.[1]
Peneliti akan
mengungkap kembali konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dianggap konsep
tersebut dapat menangani permasalahan pendidikan bangsa kita atau paling tidak
bisa meminimalisir berbagai masalah pendidikan yang terjadi sehingga kualitas
pendidikan Indonesiapun semakin membaik dan bisa merelevansikannya dengan
pendidikan agama islam, peneliti berkeinginan bisa menanamkan kembali
nilai-nilai sosial kultural yang selama ini sudah hampir hilang, sehingga
peneliti mengusungkan
judul penelitian “Konsep Triogi
Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Agama Islam”
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara ?
2. Bagaimana
relevansi konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Pendidikan Agama
Islam ?
C.
Kerangka
Teori
1. Definisi
Konsep Pendidikan
Dalam kamus besar bahasa indonesia konsep berarti
rancangan atau buram surat-surat.[2]
Sedangkan yang dimaksudkan dengan konsep dalam penelitian ini adalah ide-ide
atau pemikiran Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Berdasarkan KPPN (Komisi Pembaharuan
Pendidikan Nasional) pendidikan agama merupakan komponen yang sangat penting
yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain akhlak dan
keagamaan.[3]
Pendidikan
Agama Islam adalah suatu proses penanaman nilai dan pembiasaan diri secara
sistematis dan empiris berdasarkan peraturan perundangan dan juga berdasar pada
ajaran Islam untuk mengetahui agama Islam itu sendiri.
Menurut Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Islam/at tarbyyah alislamiyyah adalah usaha
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai
pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran islam serta menjadikannya
sebagai pendangan hidup.[4]
Dengan
beberapa pengertian tersebut dapat diartikan bahwasanya pendidikan agama islam
merupakan serangkaian kegiatan dengan tujuan menghasilkan orang-orang beragama
,dengan demikian pendidikan agama islam perlu diarahkan ke arah pertumbuhan
moral dan karakter[5].
D.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif library
research.[6]
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis
filosofis. Pendekatan ini melihat dan melakukan penelaahan terhadap obyek ilmu
pengetahuan.[7]
Penelitian ini menggunakan metode penelitian library research/kajian pustaka
dengan analisis data content
analysis/ analisis isi. Sedangkan sumber yang digunakan oleh peneliti
adalah sumber primer dan sumber sekunder dari beberapa buku atau literal yang
menjelaskan pemikiran Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sumber primer :
Karya Ki Hajar Dewantara bagian I tentang Pendidikan
(Yogyakarta: MLPTS, 2013) cetakan kelima, Karya Ki Hajar Dewantara Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta:
Leutika 2009), Karya Ki Hajar Dewantara bagia II tentang Kebudayaan (Yogyakarta: MLPTS, 2013) cetakan kelima. Sumber
sekundernya adalah Karya Suparto Rahardjo, tentang Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: ArRuz
Media Group, 2009), Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar
dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta: ArRuz Media, 2009), Karya
Dr. Silfia Hanani M.Si, Sosiologi
Pendidikan Keindonesiaan (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2013), Karya
Abdurrochman Suryo Miharjo tentang Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa (Jakarta:
Sinar Harapan, 1986) cetakan pertama
ANALISIS DATA
HASIL PENELITIAN
A.
Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara lahir dari seorang
keturunan Paku Alam III, putra kelima dari
Soeryaningrat yang dilahirkan pada hari kamis legi tanggal 2 1818 H/ 2
Mei 1889 M di Yogyakarta[8].
Nama asli kecil beliau adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Nama raden mas
merupakan gelar putra laki-laki kebangsaan jawa yang mana melekat pada
keturunannya mulai dari keturunan kedua hingga keturunan ketujuh dari raja atau
pemimpin terdekat yang pernah memerintah. Gelar ini dipakai oleh semua pewaris
kerajaan di Jawa Mataram. Soewardi merupakan cucu Pakualam III, sedangkan
ayahnya bernama K.P.H Suryaningrat, Ibunya bernama Raden Ayu Sandiyah yang
merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang keturunan dari Sunan Kalijaga[9].
Walaupun berasal dari keluarga yang sangat terpandang juga kaya namun sifat dan
pergaulan beliau tidak pernah membedakan antara rakyat biasa dan juga orang
terpandang/orang kaya, sebab sejak masa kecil ia juga terbiasa bermain dengan
anak-anak seumuran sekitar rumahnya. Hingga pada usia 39 tahun Soewardi
mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dengan tujuan agar semakin dekat
dengan masyarakat.
Pada masa
anak-anaknya beliau tidak pernah terbatas dengan rakyat biasa hal ini
dibuktikan dengan suatu kisah yang menjelaskan pada suatu hari Ki Hajar
Dewantara memenek pohon yang berada di rumah warga sekitar kemudian diberikan
kepada anak-anak teman sebayanya. Pada usia mudanya Ki Hajar Dewantara banyak
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seperti keadaan sosial, kesenian,
keagamaan, dan ajaran kultural sekitar. Sebab beliau dididik dalam lingkungan
keluarga yang cultural religius tinggi yang kondusif.[10]
Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan nikah gantung antara R.M Soewardi
Soeryaningrat dengan R.A Soetartinah yakni kedua cucu dari Paku Alam III. Pada
akhir Agustus 1913 menjelang pengasingan di negeri Belanda, pernikahannya
diresmikan secara adat dengan sederhana di Puri Soeryaningrat Yogyakarta.[11]
Setel.ah
melaksanakan kehidupan yang penuh perjuangan hingga menghasilkan konsep
tersendiri dalam dunia pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan,
akhirnya pada tanggal 26 April 1959 dalam usia ke 70 tahun beliau meninggal
dunia. Kemudian pada tanggal 29 April jenazah beliau dibawa ke pendopo taman
siswa dan dimakamkan di Taman Pemakaman Wijayabrata Yogyakarta yang merupakan
taman pemakaman milik keluarga Taman Siswa. Sebelum Ki Hajar Dewantara wafat
pernah berwasiat kepada anaknya Bambang Sukowati, berbunyi “Mbang, apapun yang
dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun seandainya suatu
saat nanti ketika orang meminta pendapatmu, apakah Ki hajar seorang nasionalis,
radikalis, humanis, tradisionalis, ataupun demokratis ? maka katakanlah, aku
hanya orang Indonesia biasa dan bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara
Indonesia”. Upacara pemakaman Ki Hajar diinspekturi oleh Panglima Tetorium IB
Letkol Soeharto, dan Soeharto melepas pemakaman Ki Hajar sampai ke komplek
Wijayabrata.[12]
Usaha-usaha Ki
Hajar Dewantara melalui Tamansiswa memang bergabung secara nasional dan
membangkitkan jiwa kebangsaan di kalangan rakyat Indonesia. Pada saat yang sama
di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia tetap rajina menulis. Namun tema nuansa tulisannya beralih
dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan dan melalui
ratusan karyanya tersebut dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia.[13]
Rumaha Ki Hajar Dewantara sekarang dijadikan Museum Dewantara Kirti Griya
dengan tujuan melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara
yang didalamnya terdapat karya-karyanya. Sehingga berdasarkan PM. Kebudayaan
dan Pariwisata pada Maret 2007, rumah dan pendapa tersebut ditetapkan menjadi
Bangunan Cagar Budaya, terletak di Jalan Kusumanegara 157 Timoho Yogyakarta
dengan kesan sederhana penuh kewibawaan.[14]
Sejak masa
kecilnya Ki Hajar selalu disuguhi dengan lingkugan pendidikan formal dan
nonformal yang berbasis religius, kesenian dan kultural, ia mendapat pendidikan
agama dari KH. Abdurrahman di Pesantren Kalasan dan mendapat julukan Jemblung
Trunigati, atau anak mungil berperut buncit tetapi mampu meghimpun
pengetahuan yang luas.[15]
Pendidikan
dasar Soewardi ditempuh di ELS (Europeesche Lagere School) merupakan sekolah
dasar pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indosenia. Usai tamat dari ELS
Soewardi meneruskan pelajarannya ke Kweekschool
(Sekolah Guru Belanda). Ia hanya menjalani selama satu tahun untuk
kemudian pindah ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumi putera), karena kecerdasan dan
penguasaan bahasa Belandanya yang sangat baik, Soewardi menerima beasiswa di
STOVIA. Ki Hajar memanfaatkan kesempatan pemerintah kolonial Belanda yang memberikan
keistimewaan kepada para bangsawan dan anak pegawai negeri (ambteenaar)
untuk mendapatkan sekolah lebih baik dari pada warga biasa lainnya, dan fasilitas
itulah yang dimanfaatkan oleh Soewardi untuk meneruskan kuliah di STOVIA.[16]
Setelah keluar
dari STOVIA Soewardi bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara
lain Sedyotomo, Midden, Jawa, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timur, dan Poesara. Ia juga menerbitkan koran Goentoer bergerak
dan Hindia Bergerak.[17]
Selain itu, Ki
Hajar Dewantara adalah seorang jurnalis, pemikir, aktivis politik, tokoh
pendidikan, dan budayawan. Tulisan hasil karyanya yang terkenal pada saat itu
ialah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya aku seorang Belanda).[18]
Ia juga aktif dalam pergerakan seperti Budi Utomo, Indische Partij, dan Gerakan
Pendidikan.
Dengan
lingkungan kelahiran yang masih berasal dari keturunan Paku Alam III dan garis
keturunan yang ditarikik menuju ke Sunan Kalijaga, hal ini menjadi salah satu
faktor yang mempegaruhi pemikiran atau dasar pemikiran pendidkan Ki Hajar
Dewantara yang sosial kultural dan juga religius. Selain itu berdasarkan
beberapa biografi Ki Hajar Dewantara lain menjelaskan bahwa masa mudanya banyak
dipengaruhi oleh suasana kesustraan jawa, agama islam, serta
pembicaraan-pembicaraan yang dipengaruhi hinduisme dan ayahnya.[19]
Menurut Ki
Hajar Dewantara, dalam pelaksanaan pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan yang
namanya pengajaran dan harus mengutamakan dengan segala alat atau kodratnya
keadaan, adat istiadat atau warisan yang didapatkan oleh nenek moyang zaman
sebelumnya, mengetahui garis hidup yang tetap yakni mengetahui proses masa
sebelumnya dan melaksanakan keadaan yang sekarang ini hingga mengetahui keadaan
dan perencanaan pendidikan di masa depan, waspada dalam melaksanakan pendidikan
sebab terjadinya percampuran antar bangsa di dunia.[20]
Selain itu proses pendidikan juga harus memiliki beberapa naluri seperti naluri inpect dan pedagogic inpect (naluri pendidikan dan kecakapan tiap-tiap manusia
untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan
bahagia). Dengan demikian pelaksanaan harus bergandengan dengan beberapa
ilmu lainnya atau ilmu syarat pendidikan (hulpwetenschappen) yang
terbagi menjadi, Ilmu hidup batin manusia (Ilmu jiwa /psichology), Ilmu
hidup jasamani manusia (Fysiologie), Ilmu kesopanan (etika atau
moraal), Ilmu keindahan (estetica), dan Ilmu tambo pendidikan (ikhtisar
cara-cara pendidikan)[21]
Dalam
pelaksanaan pendidikan, peralatan juga dikategorikan sangat penting dalam sudut
pandang Ki Hajar yang diringkas menjadi Memberi contoh (voorbeeld),
Pembiasaan (pembiasaan), Pegajaran (leering, wulang-wuruk),
Perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht), Laku (zelf beheesching, zelfdiscipline), Pengalaman lahir
dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).[22]
Dengan demikian seorang pendidik bertanggung
jawab besar dalam menentukan dan mempertahankan kepribadian bangsa yang mulai
tertanam pada anak didik agar selamanya tak terkalahkan oleh derasnya
perkembangan zaman dan pola kehidupan.[23]
B.
Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
dan Pendidikan Agama Islam
Diantara unsur dalam pelaksanaan konsep
Trilogi Pendidikannya tidakalah lain dengan konsep pendidikan yang lainnya,
hanya saja dalam konsep ini unsur guru dan realita bukan sebagai teori belaka
melainkan sebagai acuan dan juga teladan serta penguat tujuan bagi setiap murid
di lembaga pendidikan. Ki Hajar Dewantara memiliki sebuah konsep yang bernama
konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha,
Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani dan dikenal dengan
Tut Wuri Handayani. Dalam pelaksanaan, Ki Hajar Dewantara seringkali
menghubungkan dengan beberapa hal lain seperti tripusat yaitu keluarga,
sekolah, dan masyarakat umum yang dapat memberikan pengaruh banyak terhadap
pola perkembangan kepribadian atau proses pendidikan anak.
Dengan memiliki corak ataupun muatan
pendidikan yang kultural dan sosial, maka siswa akan semakin cerdas pemahaman
sosial Bangsanya sehingga dapat secara mahir membangun Bangsa saat waktu telah
berada dalam genggamannya. Walau pendidikan dimasa sekarang sudah menggunakan
basis murid sebagai pusat pendidikan, namun sebagai pendidik tetap harus
memonitor mereka secara pesat dan membenarkan apabila terjadi perkembangan yang
tidak sesuai dengan pendidikan. Disinilah perpaduan kwajiban guru yang memegang
konsep trilogi pendidikan dan juga pendidikan agama Islam.
Konsep trilogi Ki Hajar Dewantara atau populer
dengan tut wuri, seringkali disimboliskan dalam setiap tema pedidikan memang
merupakan gambaran sebuah sistem pendidikan yang basisnya kultural dalam rangka
menjaga jiwa bangsa, sehingga seorang pemimpin atau Guru harus memiliki
tiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi setiap isiswanya, lebih
jelasnya sebagai berikut;
1.
Ing Ngarso Sung Tuladho
Kata Ing Ngarso artinya adalah yang
berada di depan, Sung berasal dari kata ingsun artinya saya. Tulodho artinya
contoh atau teladan[24].
Maksudnya menjadi seorang pendidik atau Guru harus mampu memberikan contoh atau
suri tauladan kepada anak anak didiknya, seorang guru pendidik harus memberikan
tauladan yang baik bagi peserta didik, dan harus dipegang dengan teguh terkait
apa yang dicontohkan kepada peserta didiknya. Peran inilah yang seharusnya
pendidik tekankan dan dilakukan secara continue sebab dari hal ini nantinya
peserta didik dapat menerima apapun yang dikatakan pendidik selama masih
mengandung unsur pendidikan atau masih masuk dalam hal yang baik.
Sebagai seorang Guru maka harus memiliki sikap
yang baik dalam segala tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya,
selain mentransfer ilmu seharusnya seorang guru memberikan sajian berupa
teladan dari apa yang sudah diajarkan kepada siswanya kemudian disajikan dalam
bentuk teladan atau contoh perbuatan yang baik, sehingga para siswa bisa
meneladani dari apa yang sudah diajarkan dan yang dikatakan oleh setiap guru.
Akan tetapi pada realitanya masih banyak guru yang tidak mau berpegang teguh
dengan hal tersebut sehingga kenakalan dan permasalahan di dunia pendidikanpun
semakin menyebar disetiap unsurnya. Sebagaimana beberapa hal yang sempat
peneliti alami di salah satu Madrasah Sleman Yogyakarta, Madrasah tersebut
memiliki design ideologi Madrasah yang sangat baik dan jika peneliti amati
sudah bisa masuk dalam kategori pelaksanaan Trilogi Pendidikan dan pendidikan
agama Islam, namun pada prakteknya bisa dikatakan hanya sebagaian guru saja
terkhusus pendidik yang memiliki besik Pendidikan Agama Islam saja sehingga
ketika dilakukanpun yang mengena hanya pada beberapa sebab tidak semua pendidik
melakukannya sehingga masih ada beberapa siswa yang bisa dikatakan tidak
berkarakter dan tidak termasuk dalam kategori pendidikan agama Islam.
Seandainya monitoring dari pimpinan Madrasah tersebut memeratakan pelaksanaan
tersebut pasti akan benar menghasilkan peseta didik yang berkarakter kebangsaan
dan berakhlakul karimah sebagaimana tujuan bersama dari Trilogi Pendidikan dan
Pendidikan Agama Islam.
Oleh karenanya hal ini perlu untuk dihidupkan
kembali dalam membina para generasi bangsa Indonesia, dengan alat guru dan
pendidik sebagai figur idola pendidikan yang menauladani muridnya. Ketika
seorang guru atau pendidik sudah dapat menyampaiakan tidak hanya teori dan
ucapan, tetapi juga teladan maka dapat dipastikan di dalam proses pendidikanpun
ketika seorang siswa melakukan aktifitas yang hampir sama dengan perilaku guru
saat itu maka tanpa diperintahkan mereka akan melaksanakannya sesuai dengan apa
yang dahulu pernah dilihat atau dicontohkan gurunga baik sengaja ataupun tidak
disengaja.
2.
Ing Madya Mangun Karsa
Artinya adalah di tengah membangun, yakni
seorang pendidik atau guru ketika berada dalam kesibukannya diri masing-masing
ataupun keluarga, tetap harus bisa memberi motivasi ataupun menggugah semangat
para peserta didik. Oleh karenanya seorang pendidik dan guru dalam lingkungan
berlangsungnya proses pendidikan dan pembelajaran harus bisa menciptakan
suasana yang kondusif dan dinamis untuk keamanan dan kenyamanan belajar ataupun
proses pendidikan.
Dalam proses pendidikan terhadap anak
harapannya seorang guru dan pendidik terus bisa mengawal dan mengerti
perkembangan keadaan muridnya, sehingga ketika akan berlanjut pada tahap
berikutnya bisa sesuai dengan keadaan dan pendidikanpun akan berjalan sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan peserta didik. Selain kegiatan selama di luar
jam formal pendidikan, sebagai seorang guru dan tenaga pendidik memang harus
bisa mendorong murid-murid kita agar mereka bisa terus bersemangat dan fokus
mengikuti pembelajaran dan pendidikan sampai selesai.
Pada realitanya banyak sekali tenaga pendidik
yang berambisi untuk menyelesaikan materi dari bab yang diajarkannya, namun
mereka lupa dengan unsur mereka yang harus selalu membangkitkan dan membangun
semangat para siswa agar mau terus menerus melaksanakan proses pendidikannya,
mulai dari penyerapan ilmu pengetahuan hingga teladan-teladan yang patut untuk
ditirukannya. Dalam hal ini pendidik harus mengistiqomahkan diri untuk membakar semangat berpendidikan
bagi setiap muridnya. Sebab komposisi yang terpenting juga dalam proses
pendidikan, tidak hanya tauladan yang baik yang continue tetapi juga pantauan
dan dorongan atau motivasi bagi siswanya, sebab dengan hal itu siswa akan terus
merasa memiliki dukungan untuk terus mengembangkan keahlian dan kemampuannya,
sebab guru atau pendidik adalah orang yang paling tahu terkait perkembangan
pendidikannya. Oleh karenanya sebagai subyek yang tahu kebutuhan peserta didik
maka pendidik harus memberikan pendidikan pada peserte didik dengan maksimal
dan memerdakakan peserta didiknya sehingga berkembang sesuai kebutuhan bakat
baik secara langsung ataupun tidak langsung yakni media pendidikan. Dalam
bagian ini dengan menggunakan metode Asuh, pendidik akan dapat membentuk karakter peserta didik
lewat apa yang disampaikan dan dilakukannya kepada peserta didik atau dalam
Pendidikan Agama Islam disebut dengan istilah ta’ dib.
3.
Tut Wuri Handayani
Tut Wuri berarti mengikuti dari belakang,
handayani adalah memberi dorongan moral atau dorongan semangat, yakni sebagai
seorang pendidik harus bisa memberikan sebuah dorongan berupa motivasi dari
belakang agar murid bisa belajar secara maksimal dan bisa dididik dengan baik.[25]
Tenaga pendidik akan sangat lengkap ketika memperhatikan setiap muridnya dari
tiga aspek yakni aspek didepan, tengah, dan juga belakang. Ketika seorang
pendidik berhasil memberikan teladan didepan dan mendorong ditengah-tengah
proses dan bahkan kesulitan mereka, maka pendidik harus menjalankan tahapan
dimana ia harus melihat para muridnya dari sisi pandang orang yang sangat
menderita dan juga berada dalam kesusahan, yakni pendidik harus bisa
membangkitkan semangat dan keinginan-keinginan muridnya yang sudah dalam taraf tidak
memiliki semangat berpendidikan sekalipun, pemberian dorongan inilah yang
nantinya akan menstabilitaskan keadaan jiwa murid dalam proses pendidikan
sehingga akan berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan dan juga kodrat yang
berisi unsur kemanusiaan.
Dorongan-dorongan inilah yang nantinya akan
selalu diingat dalam setiap perbuatan siswa, sebab tanpa disadari seorang siswa
akan merasa bahwa ternyata guru ini tidak hanya mengingatkan ketika didalam
kelas atau terkait pendidikan dan pembelajaran saja, namun diluar itu semua
ternyata masih ada ruang bagi pendidik untuk selalu mengarahkan siswa agar
menuju arah yang lebih baik.
C. Relevansi Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Pendidikan
Agama Islam
Konsep
Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada dasarnya mengadopsi dari pendidikan pesantren yang pernah dilaluinya selama menempuh
pendidikan di pondok pesantran pada masa mudanya, seperti saat nyantri
pada K.H Abdurrahman dan KH. M.
Moenawwir ia dididik untuk
menjadi sosok pribadi yang sederhana, berkarakter, namun apa adanya sesuai kodrat
diri dan sebagainya.
Konsep Trilogi Pendidikan yang pertama adalah Ing
Ngarso Sung Tuladha, diterapkan dalam proses pendidikan hendaknya seorang
pendidik itu memberikan contoh teladan kepada muridnya, tidak hanya mengatakan
baik terhadapnya tapi juga contoh yang nyata. Sebab posisi pendidik berada di depan peserta didik dalam hal yang baik,
secara sistem pendidikan sehingga muridpun akan mencontohkan hal yang dilakukan
oleh oleh guru atau pendidik. Dalam pandangan Islam seorang pendidik ketika melakukan contoh baik untuk muridnya disebut dengan uswah hasanah atau teladan yang baik.
Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
yang kedua adalah Ing Madya Mangun Karsa, maknanya ing madya adalah
berada di tengah-tengah, sedang mangun karsa memiliki arti selalu memberikan
motivasi atau nasehat dan juga semangat terhadap kaum di luar dirinya. Seorang
pendidik harus bisa menggugah kemauan dan juga niat motivasi muridnya. Dalam proses motivasi terhadap anak ataupun
pemberian menggugah murid untuk kembali sadar akan kebutuhan belajar dan
berpendidikannya juga termasuk dalam ranah bimbingan yang diselenggarakan berdasarkan
pendidikan Islam.
Relevansi trilogi yang kedua ini berada pada
titik sejenis dengan ta’dib (dalam pendidikian Islam), yang mana proses
di dalamnya selalu didampingi oleh seorang guru atau pendidik yang
mengajarkannya. Begitu juga dengan ing madya mangun karsa seorang
pendidik terus menerus berada di tengah-tengah siswanya dalam proses perubahan
pendidikan hingga mencapai tujuan yang sudah dicita-citakan.
Unsur konsep trilogi yang ketiga adalah Tut
Wuri Handayani (berada di belakang selalu mendorong/mendukung). Dalam
pemahaman tersebut seorag pendidik bukan hanya berposisi ketika mengajar atau
didepan muridnya, berada dalam proses bersama muridnya, melainkan ada satu
proses yang sangat penting di mana hal ini bisa mempengaruhi secara besar minat
dan proses pendidikan anak, yakni berada di belakang namun senantiasa memberi
masukan, motivasi, pencerahan dan sebagainya dengan tujuan agar murid-murid
bisa terus berjalan mengikuti jalannya arus pendidikan sehingga dapat
mengeluarkan output yang diharapkan. Hal yang demikian sejalan dengan salah
satu tokoh pemikir Islam terkait dengan dunia pendidikan yakni Imam Ghazali
menjelaskan sebagai berikut; hal-hal yang harus dimiliki oleh pendidikan
profesional adalah cinta kasih kepada muridnya, mencontohkan gerak langkah Nabi
Muhammad SAW, jangan alpa sedikitpun menasehati muridnya, mengkritik pelajar
yang berbudi buruk, dan sebagainya.[26]
Konesp Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara
ini membahas terkait dengan kemanusiaan mulai dari skill, karakter, perilaku
dan juga kebutuhan secara umum atau khusus bagi seorang murid yang diajarnya,
oleh karenanya hal ini yangat sejalan dengan Pendidikan Agama Islam yang
didalamnya hampir membahas project hal yang sama dengan pembahasan yang berbeda
diantaranya, jiwa, nafs, basyar, nas, insan kamil, keahlian, hingga berakhir
pada kesesuaian hidup didunia dan akhirat sebagai insan kamil, berikut
firmanAllah SWT ;
ياايهاالذين
امنوااتقواالله ØÙ‚ تقته ولاتموتن الا وانتم مسلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu semua kepada Allah SWT dengan
sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” (Qs. Ali
Imron: 102).[27]
Kerelevansian tersebut bukan hanya sebatas
paradigma pemikiran pendidikan ataupun pengadaan dalam dunia pendidikan belaka,
melainkan telah menjelma menjadi suatu sistem yang sudah pernah dibuktikan oleh
Ki Hajar Dewantara secara langsung dengan menghasilkan beberapa tokoh pemikir
pendidikan di masa perjuangan pasca Ki Hajar yang menjadi acuan bagi tokoh
pemikir seluruh jagat alam semesta dalam melestarikan pendidikan dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran dalam praktek sistem, dan juga
peraturan ataupun mata pelajaran. Sebab dalam kedua konsep tersebut yakni
konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar dan juga pendidikan agama Islam, mereka
berproses tidak hanya sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan belaka, melainkan
dengan memperhatikan konsep dasar atau fitrah yang ada dalam diri setiap
kepribadian siswa.
KESIMPULAN DAN
SARAN
A.
Kesimpulan
1. Konsep Trilogi
Pendidikan Ki Hajar Dewantara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa seimbang
ketika hanya dijalankan sebagian, dengan demikian seorang pendidik harus
memegang teguh ketiganya dan menerapkannya dalam pengajaran di kelas dan di
luar kelas. Ing Ngarso Sung Tuladha merupakan landasan tersendiri bagi
seorang guru atau pendidik untuk menjadi seorang teladan ataupun acuan contoh
bagi setiap muridnya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa yakni sebagai
seorang pendidik kita harus bisa terus menerus memberikan motivasi yang
membangun semangat peserta didik. Dan ketiga, Tut Wuri Handayani berarti
ketika ada murid yang melakukan kegiatan terkait pendidikan dan sesuai dengan
keinginannya juga tidak keluar dari tujuan dan misi pendidikan, pendidik harus
terus mendukung apa yang akan dilakukan oleh siswanya tersebut dengan tujuan
sebagai salah satu sarana pengembengan kepribadian dalam dunia pendidikan.
2. Relevansi
antara konsep trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan pendidikan agama Islam
dapat dikategorikan sebagai berikut ;
a.
Konsep trilogi pendidikan dengan pendidikan
agama Islam relevan pada tata cara pelasanaannya, yakni harus memiliki rasa
saling memiliki antara pendidik dan peserta didik.
b. Kerelevansiannya
terletak pada penanganan masalah yang melibatkan ketiga unsur Tripusat
dengan bekerja sama dan mengkomunikasikan perkembangan peserta didik secara
baik dengan bersabar dan istiqomah.
c. Titik
persamaan antara konsep Trilogi Pendidikan dengan pendidikan agama Islam berada
pada subyektifitas pendidik yang menjadi icon/idola/acuan dalam pelaksanaan
pendidikan, dalam pendidikan agama Islam disebut dengan tauladan/Uswah
pendidikan, selain itu pendidik juga perlu memonitoring peserta didik secara
continue.
d. Kedua konsep
tersebut sama-sama mengharapkan output pendidikan atau bercita-cita untuk
menghasilkan output pendidikan yang berkarakter dengan mencintai tanah air dan
berakhlakul karimah atau senantiasa membudayakan perbuatan baik sebagaimana
Bangsanya.
e. Konsep Trilogi
Pendidikan dan pendidikan agama Islam, kedunya sangat menuntut peran aktif dan
kerjasama antara tiga unsur/Tripusat (Trilogi Pendidikan) yang seimbang dan saling melengkapi, tiga
unsur atau media tersebut adalah orang tua, pendidik, dan masyarakat.
B.
Saran
Pertama, penelitian
ini terkait dengan pengembalian konsep pendidikan yang hampir hilang kembali
diterapkan kembali, diharapkan para pendidik bisa berpijak pada konsep ini
ketika pelaksanaan pendidikan supaya sistem yang sudah diciptakan itu
benar-benar dapat menjadi penghubung dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Kedua, peneliti
mengharapkan hal ini dapat dikembangkan secara lebih lanjut. Sebab konsep
pendidikan menjadi salah satu kajian masih sangat banyak yang belum didata oleh
peneliti, hingga berharap untuk peneliti berikutnya bisa melanjutkan untuk
menambah khazanah keilmuan yang sama.
Daftar
Pustaka
Arifudin, Fatah, Konsep Pendidikan
yang Memerdekakan Siswa Menurut Ki Hajar Dewantara, Skripsi, FITK UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2013
Daud Ali,
Muhammad. Pendidikan Agama Islam, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Drajat, Zakiah, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Enzir, Metodologi Penelitian Pendidikan:Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada,2008
Hanani, Silfia, Sosiologi
Pendidikan Keindonesiaan, Yogyakarta: ArRuzzMedia, 2013
Kaelan,
Metode Penelitian Kualitatif bidang filsafat,
Yogyakarta: Paradigma, 2005
Krippendrof, Klausa, Content Analysis: an Introduction to its
Methodology (Secon edition),
(California: Sage Publication, 2004)
Kurniawan, Syamsul, Pendidikan dimata Soekarno, Yoogyakarta: ArRuzz Media, 2009.
Latipah, Eva, Metode Penelitian Pendidikan,
Yogyakarta: Deepublish, 2016
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam; Menuju Pembentukan
Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2015
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Yogyakarta: Kompas, 2010
Moh. Roqib & Nurfuadi, Kepribadian
Guru, Purwokerto: STAIN Purwokerto Pers, 2009
Muliawan, Jasa
Ungguh. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015
Munir amin,
Samsul, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bumi Aksara, 2012
Nata, Abuddin.
Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013
Nata, Abuddin.
Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 201
Nilotica, Denoc. Konsep Pendidikan Panca Dharma Ki Hajar Dewantara, Skripsi,
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011
Poerwadarminto, W.J.S, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998,
Qamar,
Mujamil. Strategi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2013
R. Knight, George
, Filsafat Pendidikan, penerjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Rahardjo, Suparto, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959, Yogyakarta: Garasi,
2009.
Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional dari masa klasik hingga modern,
Yogyakarta : ArRuzzMedia, 2011
Samho, Bartolomeus, Visi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta: Kanisius, 2013
SoffanNuri, Muhammad..”Konsep
Pendidikan Ki Hajar Dewantara:Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Among di SDN
Timbulharjo Bantul. Yogyakarta.” Jurnal
Pendidikan Guru Sekolah Dasar edisi 21, FIP UNY: Yogyakarta, 2016
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan kompetensi
dan prakteknya, Jakarta: Bumi Aksara, 2015
Sukmadinata & Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2012
Tomy, Ali Surya. “Pemahaman Siswa Terhadap Pemikiran Ki Hajar
Dewantara di SMA Taman Madya Se-Kota Yogyakarta,” Skripsi, Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2014
Tri arini, Gitaliska.. “Revitalisasi
Pemikiran Ki Hajar Dewamtara Untuk Pendidikan Karaktar Bangsa”. Skripsi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga: 2012
Yasunari, Oscar, dkk. Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara
danTantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa ini. Bandung: LPKM
Universitas Katolik Parahyangan, 2010
Zuhairini & Ghofir, Abdul, Metodologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Malang: Universitas Malang, 2004
Nama : MOH.
ZAKI JAMALUDIN 1441009
Alamat
: Jl.
Anggrek Gg. Mekarsari no. 06 rt 02/rw 02 Dk. Sukalila,
Ds.
Sukareja Kec. Warureja, Kab. Tegal Jawa
Tengah
Kode Pos (52083)
No. Hp : 085786896287 /
089518474658
[1] Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki HajarDewantara
tantangan dan relevansisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal.109
[2] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, (Semarang: Widya Karya, 2015), hal.262
[5] Zuhairini & Abdul Ghofir,metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam, (Malang: Universitas Malang,2004), hal.1
[8] Soeratman, Darsiti.1985, Ki Hajar Dewantara,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Hal. 2
[9] Suparto Raharjo, Ki Hajar Dewantara
Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi House of book, 2009), hal. 9
[11] Hah. Harahap dan Bambang soekawati Dewantara, Ki
Hadjar Dewantara dan kawan-kawan ditangkap, dipenjara, dan diasingkan,
(Jakarta: Gunung Aguna, 1980), hal, 12
[19] Abdurrachman Surjomiharjo, Ki Hajar
Dewantara dan Taman Siswa salam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Sinar
Harapan, 1986), hal. 52
[26] Prof. Dr. H. Maragustam, M.A. Filsafat
Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Kurnia kalam Semesta, 2015), hal. 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar