Kamis, 15 Maret 2018

Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara


KONSEP TRILOGI PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Ringkasan Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
 untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu Pendidikan

Disusun Oleh:

MOH. ZAKI JAMALUDIN
14410069

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017




ABSTRAK
MOH. ZAKI JAMALUDIN. Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam.Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2017. Latar belakang penelitian ini berangkat dari kegelisahan peneliti terkait dengan beberapa kasus dalam dunia pendidikan dalam semua aspek.
Penelitian ini adalah library research menggunakan metode dokumentasi dengan mengumpulkan beberapa karya dari Ki Hajar Dewantara.
Hasil penelitian menunjukkan pada ; 1) Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan tata cara pelaksanaan dalam dunia pendidikan, 2) Relevansi konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan PAI.
Kata Kunci : Konsep Trilogi Pendidikan, Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Agama Islam (PAI)


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Problem moral dan asosial yang menjangkit bangsa kita merupakan bagian  nyata suatu kegagalan dari pendidikan dan sistem pendidikan kita terlebih dalam masalah sosial kultural, padahal pada masa klasikal pendidikan bangsa kita selalu mengharapkan kualitas pendidikan yang maju serta mumpuni dan juga berkarakter, akan tetapi pada kenyataanya hingga kini pendidikan yang dikatakan sudah maju dengan teknologi informasinya justru sering lebih mengarah pada output pendidikan yang abnormal dan anti sosiokultural. Dari beberapa pertimbangan, peneliti beranggapan pentingnya mengungkap kembali konsep pendidikan klasikal yang telah lama mati terkait Konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, dan akan peneliti relevansikan dengan Pendidikan Agama Islam.
Bangsa ini perlu mewarisi dan merevitalisasi buah pemikiran Ki Hajar Dewantara secara kontekstual dalam praksis pendidikan. Karena dalam sisi visi yang dicanangkann ia memandang tujuan pendidikan secara integratif dan humanis, yakni memajukan manusia indonesia secara terintegrasi dalam potensi-potensinya dan terbuka untuk setiap golongan dan lapisan rakyat. Dalam perspektif ini pendidikan adalah hak semua golongan yang prosesnya mesti didasarkan pada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi, sehingga Negara perlu dan harus memberikan pendidikan secara adil dan merata tanpa memebedakan berbagai macam hal.[1]
Peneliti akan mengungkap kembali konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dianggap konsep tersebut dapat menangani permasalahan pendidikan bangsa kita atau paling tidak bisa meminimalisir berbagai masalah pendidikan yang terjadi sehingga kualitas pendidikan Indonesiapun semakin membaik dan bisa merelevansikannya dengan pendidikan agama islam, peneliti berkeinginan bisa menanamkan kembali nilai-nilai sosial kultural yang selama ini sudah hampir hilang, sehingga peneliti mengusungkan judul penelitian “Konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Agama Islam”
B.    Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara ?
2.      Bagaimana relevansi konsep Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Pendidikan Agama Islam ?
C.    Kerangka Teori
1.      Definisi Konsep Pendidikan
             Dalam kamus besar bahasa indonesia konsep berarti rancangan atau buram surat-surat.[2] Sedangkan yang dimaksudkan dengan konsep dalam penelitian ini adalah ide-ide atau pemikiran Triogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
             Berdasarkan KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) pendidikan agama merupakan komponen yang sangat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain akhlak dan keagamaan.[3] Pendidikan Agama Islam adalah suatu proses penanaman nilai dan pembiasaan diri secara sistematis dan empiris berdasarkan peraturan perundangan dan juga berdasar pada ajaran Islam untuk mengetahui agama Islam itu sendiri.
             Menurut Zakiah Darajat, Pendidikan Agama Islam/at tarbyyah alislamiyyah adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran islam serta menjadikannya sebagai pendangan hidup.[4]
Dengan beberapa pengertian tersebut dapat diartikan bahwasanya pendidikan agama islam merupakan serangkaian kegiatan dengan tujuan menghasilkan orang-orang beragama ,dengan demikian pendidikan agama islam perlu diarahkan ke arah pertumbuhan moral dan karakter[5].




D.    Metode Penelitian
            Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif library research.[6] Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis filosofis. Pendekatan ini melihat dan melakukan penelaahan terhadap obyek ilmu pengetahuan.[7] Penelitian ini menggunakan metode penelitian library research/kajian pustaka dengan analisis data content analysis/ analisis isi. Sedangkan sumber yang digunakan oleh peneliti adalah sumber primer dan sumber sekunder dari beberapa buku atau literal yang menjelaskan pemikiran Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sumber primer : Karya Ki Hajar Dewantara bagian I tentang Pendidikan (Yogyakarta: MLPTS, 2013) cetakan kelima, Karya Ki Hajar Dewantara Menuju Manusia Merdeka (Yogyakarta: Leutika 2009), Karya Ki Hajar Dewantara bagia II tentang Kebudayaan (Yogyakarta: MLPTS, 2013) cetakan kelima. Sumber sekundernya adalah Karya Suparto Rahardjo, tentang Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: ArRuz Media Group, 2009), Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta: ArRuz Media, 2009), Karya Dr. Silfia Hanani M.Si, Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan (Yogyakarta: Ar Ruz Media, 2013), Karya Abdurrochman Suryo Miharjo tentang Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa (Jakarta: Sinar Harapan, 1986) cetakan pertama
ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN
A.      Riwayat Hidup Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara lahir dari seorang keturunan Paku Alam III, putra kelima dari  Soeryaningrat yang dilahirkan pada hari kamis legi tanggal 2 1818 H/ 2 Mei 1889 M di Yogyakarta[8]. Nama asli kecil beliau adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Nama raden mas merupakan gelar putra laki-laki kebangsaan jawa yang mana melekat pada keturunannya mulai dari keturunan kedua hingga keturunan ketujuh dari raja atau pemimpin terdekat yang pernah memerintah. Gelar ini dipakai oleh semua pewaris kerajaan di Jawa Mataram. Soewardi merupakan cucu Pakualam III, sedangkan ayahnya bernama K.P.H Suryaningrat, Ibunya bernama Raden Ayu Sandiyah yang merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang keturunan dari Sunan Kalijaga[9]. Walaupun berasal dari keluarga yang sangat terpandang juga kaya namun sifat dan pergaulan beliau tidak pernah membedakan antara rakyat biasa dan juga orang terpandang/orang kaya, sebab sejak masa kecil ia juga terbiasa bermain dengan anak-anak seumuran sekitar rumahnya. Hingga pada usia 39 tahun Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dengan tujuan agar semakin dekat dengan masyarakat.
Pada masa anak-anaknya beliau tidak pernah terbatas dengan rakyat biasa hal ini dibuktikan dengan suatu kisah yang menjelaskan pada suatu hari Ki Hajar Dewantara memenek pohon yang berada di rumah warga sekitar kemudian diberikan kepada anak-anak teman sebayanya. Pada usia mudanya Ki Hajar Dewantara banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seperti keadaan sosial, kesenian, keagamaan, dan ajaran kultural sekitar. Sebab beliau dididik dalam lingkungan keluarga yang cultural religius tinggi yang kondusif.[10] Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan nikah gantung antara R.M Soewardi Soeryaningrat dengan R.A Soetartinah yakni kedua cucu dari Paku Alam III. Pada akhir Agustus 1913 menjelang pengasingan di negeri Belanda, pernikahannya diresmikan secara adat dengan sederhana di Puri Soeryaningrat Yogyakarta.[11]
Setel.ah melaksanakan kehidupan yang penuh perjuangan hingga menghasilkan konsep tersendiri dalam dunia pendidikan yang memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, akhirnya pada tanggal 26 April 1959 dalam usia ke 70 tahun beliau meninggal dunia. Kemudian pada tanggal 29 April jenazah beliau dibawa ke pendopo taman siswa dan dimakamkan di Taman Pemakaman Wijayabrata Yogyakarta yang merupakan taman pemakaman milik keluarga Taman Siswa. Sebelum Ki Hajar Dewantara wafat pernah berwasiat kepada anaknya Bambang Sukowati, berbunyi “Mbang, apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun seandainya suatu saat nanti ketika orang meminta pendapatmu, apakah Ki hajar seorang nasionalis, radikalis, humanis, tradisionalis, ataupun demokratis ? maka katakanlah, aku hanya orang Indonesia biasa dan bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia”. Upacara pemakaman Ki Hajar diinspekturi oleh Panglima Tetorium IB Letkol Soeharto, dan Soeharto melepas pemakaman Ki Hajar sampai ke komplek Wijayabrata.[12]
Usaha-usaha Ki Hajar Dewantara melalui Tamansiswa memang bergabung secara nasional dan membangkitkan jiwa kebangsaan di kalangan rakyat Indonesia. Pada saat yang sama di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia tetap rajina menulis. Namun tema nuansa tulisannya beralih dari  nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan dan melalui ratusan karyanya tersebut dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.[13] Rumaha Ki Hajar Dewantara sekarang dijadikan Museum Dewantara Kirti Griya dengan tujuan melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara yang didalamnya terdapat karya-karyanya. Sehingga berdasarkan PM. Kebudayaan dan Pariwisata pada Maret 2007, rumah dan pendapa tersebut ditetapkan menjadi Bangunan Cagar Budaya, terletak di Jalan Kusumanegara 157 Timoho Yogyakarta dengan kesan sederhana penuh kewibawaan.[14]
Sejak masa kecilnya Ki Hajar selalu disuguhi dengan lingkugan pendidikan formal dan nonformal yang berbasis religius, kesenian dan kultural, ia mendapat pendidikan agama dari KH. Abdurrahman di Pesantren Kalasan dan mendapat julukan Jemblung Trunigati, atau anak mungil berperut buncit tetapi mampu meghimpun pengetahuan yang luas.[15]
Pendidikan dasar Soewardi ditempuh di ELS (Europeesche Lagere School) merupakan sekolah dasar pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indosenia. Usai tamat dari ELS Soewardi meneruskan pelajarannya ke Kweekschool  (Sekolah Guru Belanda). Ia hanya menjalani selama satu tahun untuk kemudian pindah ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumi putera), karena kecerdasan dan penguasaan bahasa Belandanya yang sangat baik, Soewardi menerima beasiswa di STOVIA. Ki Hajar memanfaatkan kesempatan pemerintah kolonial Belanda yang memberikan keistimewaan kepada para bangsawan dan anak pegawai negeri (ambteenaar) untuk mendapatkan sekolah lebih baik dari pada warga biasa lainnya, dan fasilitas itulah yang dimanfaatkan oleh Soewardi untuk meneruskan kuliah di STOVIA.[16]
Setelah keluar dari STOVIA Soewardi bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden, Jawa, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timur, dan Poesara. Ia juga menerbitkan koran Goentoer bergerak dan Hindia Bergerak.[17]
Selain itu, Ki Hajar Dewantara adalah seorang jurnalis, pemikir, aktivis politik, tokoh pendidikan, dan budayawan. Tulisan hasil karyanya yang terkenal pada saat itu ialah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya aku seorang Belanda).[18] Ia juga aktif dalam pergerakan seperti Budi Utomo, Indische Partij, dan Gerakan Pendidikan.
Dengan lingkungan kelahiran yang masih berasal dari keturunan Paku Alam III dan garis keturunan yang ditarikik menuju ke Sunan Kalijaga, hal ini menjadi salah satu faktor yang mempegaruhi pemikiran atau dasar pemikiran pendidkan Ki Hajar Dewantara yang sosial kultural dan juga religius. Selain itu berdasarkan beberapa biografi Ki Hajar Dewantara lain menjelaskan bahwa masa mudanya banyak dipengaruhi oleh suasana kesustraan jawa, agama islam, serta pembicaraan-pembicaraan yang dipengaruhi hinduisme dan ayahnya.[19]
Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam pelaksanaan pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya pengajaran dan harus mengutamakan dengan segala alat atau kodratnya keadaan, adat istiadat atau warisan yang didapatkan oleh nenek moyang zaman sebelumnya, mengetahui garis hidup yang tetap yakni mengetahui proses masa sebelumnya dan melaksanakan keadaan yang sekarang ini hingga mengetahui keadaan dan perencanaan pendidikan di masa depan, waspada dalam melaksanakan pendidikan sebab terjadinya percampuran antar bangsa di dunia.[20] Selain itu proses pendidikan juga harus memiliki beberapa naluri seperti naluri inpect dan pedagogic inpect (naluri pendidikan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan  bahagia). Dengan demikian pelaksanaan harus bergandengan dengan beberapa ilmu lainnya atau ilmu syarat pendidikan (hulpwetenschappen) yang terbagi menjadi, Ilmu hidup batin manusia (Ilmu jiwa /psichology), Ilmu hidup jasamani manusia (Fysiologie), Ilmu kesopanan (etika atau moraal), Ilmu keindahan (estetica), dan Ilmu tambo pendidikan (ikhtisar cara-cara pendidikan)[21]
Dalam pelaksanaan pendidikan, peralatan juga dikategorikan sangat penting dalam sudut pandang Ki Hajar yang diringkas menjadi Memberi contoh (voorbeeld), Pembiasaan (pembiasaan), Pegajaran (leering, wulang-wuruk), Perintah, paksaan dan hukuman (regeering en tucht), Laku (zelf beheesching, zelfdiscipline), Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).[22]
 Dengan demikian seorang pendidik bertanggung jawab besar dalam menentukan dan mempertahankan kepribadian bangsa yang mulai tertanam pada anak didik agar selamanya tak terkalahkan oleh derasnya perkembangan zaman dan pola kehidupan.[23]
B.       Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Pendidikan Agama Islam
Diantara unsur dalam pelaksanaan konsep Trilogi Pendidikannya tidakalah lain dengan konsep pendidikan yang lainnya, hanya saja dalam konsep ini unsur guru dan realita bukan sebagai teori belaka melainkan sebagai acuan dan juga teladan serta penguat tujuan bagi setiap murid di lembaga pendidikan. Ki Hajar Dewantara memiliki sebuah konsep yang bernama konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani dan dikenal dengan Tut Wuri Handayani. Dalam pelaksanaan, Ki Hajar Dewantara seringkali menghubungkan dengan beberapa hal lain seperti tripusat yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat umum yang dapat memberikan pengaruh banyak terhadap pola perkembangan kepribadian atau proses pendidikan anak.
Dengan memiliki corak ataupun muatan pendidikan yang kultural dan sosial, maka siswa akan semakin cerdas pemahaman sosial Bangsanya sehingga dapat secara mahir membangun Bangsa saat waktu telah berada dalam genggamannya. Walau pendidikan dimasa sekarang sudah menggunakan basis murid sebagai pusat pendidikan, namun sebagai pendidik tetap harus memonitor mereka secara pesat dan membenarkan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan pendidikan. Disinilah perpaduan kwajiban guru yang memegang konsep trilogi pendidikan dan juga pendidikan agama Islam.
Konsep trilogi Ki Hajar Dewantara atau populer dengan tut wuri, seringkali disimboliskan dalam setiap tema pedidikan memang merupakan gambaran sebuah sistem pendidikan yang basisnya kultural dalam rangka menjaga jiwa bangsa,  sehingga  seorang pemimpin atau Guru harus memiliki tiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi setiap isiswanya, lebih jelasnya sebagai berikut;
1.      Ing Ngarso Sung Tuladho
Kata Ing Ngarso artinya adalah yang berada di depan, Sung berasal dari kata ingsun artinya saya. Tulodho artinya contoh atau teladan[24]. Maksudnya menjadi seorang pendidik atau Guru harus mampu memberikan contoh atau suri tauladan kepada anak anak didiknya, seorang guru pendidik harus memberikan tauladan yang baik bagi peserta didik, dan harus dipegang dengan teguh terkait apa yang dicontohkan kepada peserta didiknya. Peran inilah yang seharusnya pendidik tekankan dan dilakukan secara continue sebab dari hal ini nantinya peserta didik dapat menerima apapun yang dikatakan pendidik selama masih mengandung unsur pendidikan atau masih masuk dalam hal yang baik.
Sebagai seorang Guru maka harus memiliki sikap yang baik dalam segala tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak didiknya, selain mentransfer ilmu seharusnya seorang guru memberikan sajian berupa teladan dari apa yang sudah diajarkan kepada siswanya kemudian disajikan dalam bentuk teladan atau contoh perbuatan yang baik, sehingga para siswa bisa meneladani dari apa yang sudah diajarkan dan yang dikatakan oleh setiap guru. Akan tetapi pada realitanya masih banyak guru yang tidak mau berpegang teguh dengan hal tersebut sehingga kenakalan dan permasalahan di dunia pendidikanpun semakin menyebar disetiap unsurnya. Sebagaimana beberapa hal yang sempat peneliti alami di salah satu Madrasah Sleman Yogyakarta, Madrasah tersebut memiliki design ideologi Madrasah yang sangat baik dan jika peneliti amati sudah bisa masuk dalam kategori pelaksanaan Trilogi Pendidikan dan pendidikan agama Islam, namun pada prakteknya bisa dikatakan hanya sebagaian guru saja terkhusus pendidik yang memiliki besik Pendidikan Agama Islam saja sehingga ketika dilakukanpun yang mengena hanya pada beberapa sebab tidak semua pendidik melakukannya sehingga masih ada beberapa siswa yang bisa dikatakan tidak berkarakter dan tidak termasuk dalam kategori pendidikan agama Islam. Seandainya monitoring dari pimpinan Madrasah tersebut memeratakan pelaksanaan tersebut pasti akan benar menghasilkan peseta didik yang berkarakter kebangsaan dan berakhlakul karimah sebagaimana tujuan bersama dari Trilogi Pendidikan dan Pendidikan Agama Islam.
Oleh karenanya hal ini perlu untuk dihidupkan kembali dalam membina para generasi bangsa Indonesia, dengan alat guru dan pendidik sebagai figur idola pendidikan yang menauladani muridnya. Ketika seorang guru atau pendidik sudah dapat menyampaiakan tidak hanya teori dan ucapan, tetapi juga teladan maka dapat dipastikan di dalam proses pendidikanpun ketika seorang siswa melakukan aktifitas yang hampir sama dengan perilaku guru saat itu maka tanpa diperintahkan mereka akan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dahulu pernah dilihat atau dicontohkan gurunga baik sengaja ataupun tidak disengaja.
2.      Ing Madya Mangun Karsa
Artinya adalah di tengah membangun, yakni seorang pendidik atau guru ketika berada dalam kesibukannya diri masing-masing ataupun keluarga, tetap harus bisa memberi motivasi ataupun menggugah semangat para peserta didik. Oleh karenanya seorang pendidik dan guru dalam lingkungan berlangsungnya proses pendidikan dan pembelajaran harus bisa menciptakan suasana yang kondusif dan dinamis untuk keamanan dan kenyamanan belajar ataupun proses pendidikan.
Dalam proses pendidikan terhadap anak harapannya seorang guru dan pendidik terus bisa mengawal dan mengerti perkembangan keadaan muridnya, sehingga ketika akan berlanjut pada tahap berikutnya bisa sesuai dengan keadaan dan pendidikanpun akan berjalan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan peserta didik. Selain kegiatan selama di luar jam formal pendidikan, sebagai seorang guru dan tenaga pendidik memang harus bisa mendorong murid-murid kita agar mereka bisa terus bersemangat dan fokus mengikuti pembelajaran dan pendidikan sampai selesai.
Pada realitanya banyak sekali tenaga pendidik yang berambisi untuk menyelesaikan materi dari bab yang diajarkannya, namun mereka lupa dengan unsur mereka yang harus selalu membangkitkan dan membangun semangat para siswa agar mau terus menerus melaksanakan proses pendidikannya, mulai dari penyerapan ilmu pengetahuan hingga teladan-teladan yang patut untuk ditirukannya. Dalam hal ini pendidik harus mengistiqomahkan  diri untuk membakar semangat berpendidikan bagi setiap muridnya. Sebab komposisi yang terpenting juga dalam proses pendidikan, tidak hanya tauladan yang baik yang continue tetapi juga pantauan dan dorongan atau motivasi bagi siswanya, sebab dengan hal itu siswa akan terus merasa memiliki dukungan untuk terus mengembangkan keahlian dan kemampuannya, sebab guru atau pendidik adalah orang yang paling tahu terkait perkembangan pendidikannya. Oleh karenanya sebagai subyek yang tahu kebutuhan peserta didik maka pendidik harus memberikan pendidikan pada peserte didik dengan maksimal dan memerdakakan peserta didiknya sehingga berkembang sesuai kebutuhan bakat baik secara langsung ataupun tidak langsung yakni media pendidikan. Dalam bagian ini dengan menggunakan metode Asuh, pendidik  akan dapat membentuk karakter peserta didik lewat apa yang disampaikan dan dilakukannya kepada peserta didik atau dalam Pendidikan Agama Islam disebut dengan istilah ta’ dib.
3.      Tut Wuri Handayani
Tut Wuri berarti mengikuti dari belakang, handayani adalah memberi dorongan moral atau dorongan semangat, yakni sebagai seorang pendidik harus bisa memberikan sebuah dorongan berupa motivasi dari belakang agar murid bisa belajar secara maksimal dan bisa dididik dengan baik.[25] Tenaga pendidik akan sangat lengkap ketika memperhatikan setiap muridnya dari tiga aspek yakni aspek didepan, tengah, dan juga belakang. Ketika seorang pendidik berhasil memberikan teladan didepan dan mendorong ditengah-tengah proses dan bahkan kesulitan mereka, maka pendidik harus menjalankan tahapan dimana ia harus melihat para muridnya dari sisi pandang orang yang sangat menderita dan juga berada dalam kesusahan, yakni pendidik harus bisa membangkitkan semangat dan keinginan-keinginan muridnya yang sudah dalam taraf tidak memiliki semangat berpendidikan sekalipun, pemberian dorongan inilah yang nantinya akan menstabilitaskan keadaan jiwa murid dalam proses pendidikan sehingga akan berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan dan juga kodrat yang berisi unsur kemanusiaan.
Dorongan-dorongan inilah yang nantinya akan selalu diingat dalam setiap perbuatan siswa, sebab tanpa disadari seorang siswa akan merasa bahwa ternyata guru ini tidak hanya mengingatkan ketika didalam kelas atau terkait pendidikan dan pembelajaran saja, namun diluar itu semua ternyata masih ada ruang bagi pendidik untuk selalu mengarahkan siswa agar menuju arah yang lebih baik.
C.      Relevansi Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan Pendidikan Agama Islam
Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada dasarnya mengadopsi dari pendidikan pesantren yang pernah dilaluinya selama menempuh pendidikan di pondok pesantran pada masa mudanya, seperti saat nyantri pada K.H Abdurrahman dan KH. M. Moenawwir ia dididik untuk menjadi sosok pribadi yang sederhana, berkarakter, namun apa adanya sesuai kodrat diri dan sebagainya.
Konsep Trilogi Pendidikan yang pertama adalah Ing Ngarso Sung Tuladha, diterapkan dalam proses pendidikan hendaknya seorang pendidik itu memberikan contoh teladan kepada muridnya, tidak hanya mengatakan baik terhadapnya tapi juga contoh yang nyata. Sebab posisi pendidik berada di depan peserta didik dalam hal yang baik, secara sistem pendidikan sehingga muridpun akan mencontohkan hal yang dilakukan oleh oleh guru atau pendidik. Dalam pandangan Islam seorang pendidik ketika melakukan contoh baik untuk muridnya disebut dengan uswah hasanah atau teladan yang baik.
Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang kedua adalah Ing Madya Mangun Karsa, maknanya ing madya adalah berada di tengah-tengah, sedang mangun karsa memiliki arti selalu memberikan motivasi atau nasehat dan juga semangat terhadap kaum di luar dirinya. Seorang pendidik harus bisa menggugah kemauan dan juga niat motivasi muridnya.  Dalam proses motivasi terhadap anak ataupun pemberian menggugah murid untuk kembali sadar akan kebutuhan belajar dan berpendidikannya juga termasuk dalam ranah bimbingan yang diselenggarakan berdasarkan pendidikan Islam.
Relevansi trilogi yang kedua ini berada pada titik sejenis dengan ta’dib (dalam pendidikian Islam), yang mana proses di dalamnya selalu didampingi oleh seorang guru atau pendidik yang mengajarkannya. Begitu juga dengan ing madya mangun karsa seorang pendidik terus menerus berada di tengah-tengah siswanya dalam proses perubahan pendidikan hingga mencapai tujuan yang sudah dicita-citakan.
Unsur konsep trilogi yang ketiga adalah Tut Wuri Handayani (berada di belakang selalu mendorong/mendukung). Dalam pemahaman tersebut seorag pendidik bukan hanya berposisi ketika mengajar atau didepan muridnya, berada dalam proses bersama muridnya, melainkan ada satu proses yang sangat penting di mana hal ini bisa mempengaruhi secara besar minat dan proses pendidikan anak, yakni berada di belakang namun senantiasa memberi masukan, motivasi, pencerahan dan sebagainya dengan tujuan agar murid-murid bisa terus berjalan mengikuti jalannya arus pendidikan sehingga dapat mengeluarkan output yang diharapkan. Hal yang demikian sejalan dengan salah satu tokoh pemikir Islam terkait dengan dunia pendidikan yakni Imam Ghazali menjelaskan sebagai berikut; hal-hal yang harus dimiliki oleh pendidikan profesional adalah cinta kasih kepada muridnya, mencontohkan gerak langkah Nabi Muhammad SAW, jangan alpa sedikitpun menasehati muridnya, mengkritik pelajar yang berbudi buruk, dan sebagainya.[26]
Konesp Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara ini membahas terkait dengan kemanusiaan mulai dari skill, karakter, perilaku dan juga kebutuhan secara umum atau khusus bagi seorang murid yang diajarnya, oleh karenanya hal ini yangat sejalan dengan Pendidikan Agama Islam yang didalamnya hampir membahas project hal yang sama dengan pembahasan yang berbeda diantaranya, jiwa, nafs, basyar, nas, insan kamil, keahlian, hingga berakhir pada kesesuaian hidup didunia dan akhirat sebagai insan kamil, berikut firmanAllah SWT ;
ياايهاالذين امنوااتقواالله حق تقته ولاتموتن الا وانتم مسلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu semua kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim(Qs. Ali Imron: 102).[27]

Kerelevansian tersebut bukan hanya sebatas paradigma pemikiran pendidikan ataupun pengadaan dalam dunia pendidikan belaka, melainkan telah menjelma menjadi suatu sistem yang sudah pernah dibuktikan oleh Ki Hajar Dewantara secara langsung dengan menghasilkan beberapa tokoh pemikir pendidikan di masa perjuangan pasca Ki Hajar yang menjadi acuan bagi tokoh pemikir seluruh jagat alam semesta dalam melestarikan pendidikan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keluhuran dalam praktek sistem, dan juga peraturan ataupun mata pelajaran. Sebab dalam kedua konsep tersebut yakni konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar dan juga pendidikan agama Islam, mereka berproses tidak hanya sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan belaka, melainkan dengan memperhatikan konsep dasar atau fitrah yang ada dalam diri setiap kepribadian siswa.




KESIMPULAN DAN SARAN
A.      Kesimpulan
1.      Konsep Trilogi Pendidikan Ki Hajar Dewantara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa seimbang ketika hanya dijalankan sebagian, dengan demikian seorang pendidik harus memegang teguh ketiganya dan menerapkannya dalam pengajaran di kelas dan di luar kelas. Ing Ngarso Sung Tuladha merupakan landasan tersendiri bagi seorang guru atau pendidik untuk menjadi seorang teladan ataupun acuan contoh bagi setiap muridnya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa yakni sebagai seorang pendidik kita harus bisa terus menerus memberikan motivasi yang membangun semangat peserta didik. Dan ketiga, Tut Wuri Handayani berarti ketika ada murid yang melakukan kegiatan terkait pendidikan dan sesuai dengan keinginannya juga tidak keluar dari tujuan dan misi pendidikan, pendidik harus terus mendukung apa yang akan dilakukan oleh siswanya tersebut dengan tujuan sebagai salah satu sarana pengembengan kepribadian dalam dunia pendidikan.
2.      Relevansi antara konsep trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan pendidikan agama Islam dapat dikategorikan sebagai berikut ;
a.       Konsep trilogi pendidikan dengan pendidikan agama Islam relevan pada tata cara pelasanaannya, yakni harus memiliki rasa saling memiliki antara pendidik dan peserta didik.
b.      Kerelevansiannya terletak pada penanganan masalah yang melibatkan ketiga unsur Tripusat dengan bekerja sama dan mengkomunikasikan perkembangan peserta didik secara baik dengan bersabar dan istiqomah.
c.       Titik persamaan antara konsep Trilogi Pendidikan dengan pendidikan agama Islam berada pada subyektifitas pendidik yang menjadi icon/idola/acuan dalam pelaksanaan pendidikan, dalam pendidikan agama Islam disebut dengan tauladan/Uswah pendidikan, selain itu pendidik juga perlu memonitoring peserta didik secara continue.
d.      Kedua konsep tersebut sama-sama mengharapkan output pendidikan atau bercita-cita untuk menghasilkan output pendidikan yang berkarakter dengan mencintai tanah air dan berakhlakul karimah atau senantiasa membudayakan perbuatan baik sebagaimana Bangsanya.
e.       Konsep Trilogi Pendidikan dan pendidikan agama Islam, kedunya sangat menuntut peran aktif dan kerjasama antara tiga unsur/Tripusat (Trilogi Pendidikan)  yang seimbang dan saling melengkapi, tiga unsur atau media tersebut adalah orang tua, pendidik, dan masyarakat.
B.       Saran
Pertama, penelitian ini terkait dengan pengembalian konsep pendidikan yang hampir hilang kembali diterapkan kembali, diharapkan para pendidik bisa berpijak pada konsep ini ketika pelaksanaan pendidikan supaya sistem yang sudah diciptakan itu benar-benar dapat menjadi penghubung dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Kedua, peneliti mengharapkan hal ini dapat dikembangkan secara lebih lanjut. Sebab konsep pendidikan menjadi salah satu kajian masih sangat banyak yang belum didata oleh peneliti, hingga berharap untuk peneliti berikutnya bisa melanjutkan untuk menambah khazanah keilmuan yang sama.
Daftar Pustaka
Arifudin, Fatah, Konsep Pendidikan yang Memerdekakan Siswa Menurut Ki Hajar Dewantara, Skripsi, FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013
Daud Ali, Muhammad. Pendidikan Agama Islam, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Enzir, Metodologi Penelitian Pendidikan:Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada,2008
Hanani, Silfia,  Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan, Yogyakarta: ArRuzzMedia, 2013
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang filsafat, Yogyakarta: Paradigma, 2005
Krippendrof, Klausa, Content Analysis: an Introduction to its Methodology (Secon edition), (California: Sage Publication, 2004)
Kurniawan, Syamsul, Pendidikan dimata Soekarno, Yoogyakarta: ArRuzz Media, 2009.
Latipah, Eva, Metode Penelitian Pendidikan, Yogyakarta: Deepublish, 2016
Maragustam,  Filsafat Pendidikan Islam; Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2015
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, Yogyakarta: Kompas, 2010
Moh. Roqib & Nurfuadi, Kepribadian Guru, Purwokerto: STAIN Purwokerto Pers, 2009
Muliawan, Jasa Ungguh. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015
Munir amin, Samsul, Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bumi Aksara, 2012
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 201
Nilotica, Denoc. Konsep Pendidikan Panca Dharma Ki Hajar Dewantara, Skripsi, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011
Poerwadarminto, W.J.S, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998,
Qamar, Mujamil. Strategi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2013
R. Knight, George , Filsafat Pendidikan, penerjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Gama Media, 2007.
Rahardjo, Suparto, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959, Yogyakarta: Garasi, 2009.
Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional dari masa klasik hingga modern, Yogyakarta : ArRuzzMedia, 2011
Samho, Bartolomeus, Visi Pendidikan Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta: Kanisius, 2013
SoffanNuri, Muhammad..”Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara:Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Among di SDN Timbulharjo Bantul. Yogyakarta.” Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar edisi 21, FIP UNY: Yogyakarta, 2016
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan kompetensi dan prakteknya, Jakarta: Bumi Aksara, 2015
Sukmadinata & Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012
Tomy, Ali Surya. “Pemahaman Siswa Terhadap Pemikiran Ki Hajar Dewantara di SMA Taman Madya Se-Kota Yogyakarta,” Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2014
Tri arini, Gitaliska.. “Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewamtara Untuk Pendidikan Karaktar Bangsa”. Skripsi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga: 2012
Yasunari, Oscar, dkk. Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara danTantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa ini. Bandung: LPKM Universitas Katolik Parahyangan, 2010
Zuhairini & Ghofir, Abdul,  Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Malang: Universitas Malang, 2004






Nama         :           MOH. ZAKI JAMALUDIN 1441009

Alamat       :           Jl. Anggrek Gg. Mekarsari no. 06 rt 02/rw 02 Dk. Sukalila,
Ds. Sukareja Kec. Warureja, Kab. Tegal  Jawa Tengah
Kode Pos (52083)

No. Hp       :           085786896287 / 089518474658




[1] Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki HajarDewantara tantangan dan relevansisi, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hal.109
[2] Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Lux, (Semarang: Widya Karya, 2015), hal.262
[3] Dr. Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksa, 2004), hal 87
[4] Zakiah Darajat,Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,1996), hal.86
[5] Zuhairini & Abdul Ghofir,metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang: Universitas Malang,2004), hal.1
[6]  Eva Latipah,Pengantar Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Deepublish,2012), hal.17
[7] Kaelan.Metode Penelitian Kualitatif bidang filsafat, (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal.60
[8] Soeratman, Darsiti.1985, Ki Hajar Dewantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Hal. 2
[9] Suparto Raharjo, Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi House of book, 2009), hal. 9
[10] Ibid. hal.9
[11] Hah. Harahap dan Bambang soekawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan ditangkap, dipenjara, dan diasingkan, (Jakarta: Gunung Aguna, 1980), hal, 12
[12] Ibid., hal. 21
[13] Ibid., hal. 20
[14] Ibid., hal. 24
[15]. Ibid., hal. 9-10
[16] Ibid,. hal. 10-11
[17] Ibid., hal. 12
[18] Ibid., hal. 29
[19] Abdurrachman Surjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa salam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hal. 52
[20] Ki Hajar Dewantara, Bagian I Pendidikan (Yogyakarta: UST Pers&MLPTS, 2013), hal. 16
[21] Ibid., hal.10
[22] Ki Hajar Dewantara, Bagian I Pendidikan (Yogyakarta: UST Pers&MLPTS, 2013), hal. 28
[23] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia (Yogyakarta: Ar Ruz, 2009), hal. 182
[24] Ibid., hal. 193
[25] Ibid., ...
[26] Prof. Dr. H. Maragustam, M.A. Filsafat Pendidikan  Islam, (Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta, 2015), hal. 156
[27]H. Zaeni Dahlan, Qur’an Karim dan ..., hal. 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar