Relevansi Pendidikan Multikultural
dengan Tujuan Pendidikan Islam
Kemajemukan dan keragaman budaya adalah sebuah fenomena yang tidak
mungkin dihindari. Kita hidup di dalam keragaman budaya dan merupakan bagian
dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam
setiap seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan.
Kemajemukan dilihat dari agama yang dipeluk dan faham-faham keagamaan yang
diikuti, oleh Tuhan juga tidak dilihat sebagai bencana, tetapi justru diberi
ruang untuk saling bekerjasama agar tercipta suatu sinergi.[1]
Di samping itu, kita juga menghadapi kenyataan adanya berbagai agama
dengan umatnya masing-masing, bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi
–orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan
seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita
harus belajar toleran tehadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas
dasar dan semangat pluralisme agama.[2]
Pendidikan multikultural sesuai dengan tujuan Pendidikan Islam yaitu:
Tujuan pendidikan Islam bukan sebatas mengisi pikiran siswa dengan
ilmu pengetahuan dan materi pelajaran akan tetapi membersihkan jiwanya yang
harus diisi dengan akhlak dan nilai-nilai yang baik dan dikondisikan supaya
biasa menjalani hidup dengan baik[3].
Dari tujuan pendidikan Islam tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa
diharapkan dapat menjadi manusia yang berakhlak mulia dan dapat menghargai
keragaman budaya di sekitarnya. Hal tersebut senada dengan prinsip yang ada
dalam pendidikan multicultural. Dalam literatur pendidikan Islam, Islam sangat
menaruh perhatian (concern) terhadap segala
budaya dan tradisi (‘urf) yang berlaku di kalangan umat manusia dalam
setiap waktu dan kondisi, baik yang bersifat umum atau hanya berlaku dalam satu
komonitas. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ketetapan-ketetapan dalam
Islam yang berdasarkan ‘urf yang berlaku. Sabda
Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai salah satu dalil dari bentuk concern Islam terhadap ‘urf adalah, yang artinya:
“apa yang dianggap baik oleh kaum
muslimin, maka hal itupun merupakan kebaikan menurut Allah” (HR. Ahmad).
Pendidikan Multikultural juga senada dengan tujuan agama yang
berbunyi: “Tujuan umum syari’ah Islam adalah mewujudkan kepentingan umum
melalui perlindungan dan jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar (al-daruriyyah)
serta pemenuhan kepentingan (al-hajiyyat)
dan penghiasan (tahsiniyyah) mereka.”[4] Dari
konsep inilah kemudian tercipta sebuah konsep al-daruriyyah al-khamsah (lima dasar kebutuhan manusia), yang meliputi jiwa (al-nafs), akal (al-aql), kehormatan (al-‘irdh), harta benda (al-mal), dan agama (al-din).[5]
Sebagaimana dikemukakan Abu Ishak al-Syatibi, dalam kutipan Saidani
dengan perincian sebagai berikut.
a)
Memelihara Agama
Agama sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia, supaya
derajatnya terangkat dan memenuhi hajat jiwanya. Agama Islam harus terpelihara
dari ancaman orang yang akan merusak akidah, syari’ah dan akhlak atu
mencampuradukkan ajaran agama Islam dengan faham atau aliran yang batil. Agama
Islammemberikan perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama
sesuai dengan keyakinannya dan tidak memaksakan pemeluk agama lain meninggalkan
agamanya untuk memeluk Islam (QS. 2: 256).
b)
Memelihara Jiwa
Jiwa harus dilindungi, untuk itu hukum Islam wajib memelihara hak
manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya, dan dilarang melakukan sesuatu
yang dapat menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang
digunakan oleh manusia untuk mempertahankankemaslahatan hidupnya.
c)
Memelihara akal
Memelihara akal adalah wajib hukumnya bagi seseorang, karena akal
mempunyai peranan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan
akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang
tidak akan mampu menjalankan hukum Islam dengan baik dan benar tanpa
menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu Islam melarang orang meminum-minuman
khamr[6], karena akan merusak akal. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ma>idah: 90.
d)
Memelihara Keturunan
Dalam Islam, memelihara keturunan hal yang sangat penting. Untuk itu
harus ada perkawinan yang dilakukan secara sah menurut ketentuan yang berlaku
yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi dan dilarang melakukan perbuatan Zina.
Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam dalam al-Qur’an merupakan hukum yang
erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan pemeliharaan keturunan.
Pemeliharaan keturunan berkaitan dengan perkawinan dan kewarisan disebutkan
secara rinci dan tegas misalnya larangan-larangan perkawinan (QS. An-Nisa ayat
23) dan larangan berzina (QS. Al-Isra ayat 32).
e)
Memelihara Harta
Menurut hukum Islam, harta merupakan pemberian Allah kepada manusia
untuk kesejahteraan hidup dan kehidupannya, untuk itu manusia sebagai khalifah
(human
duties) Allah di muka bumi diberi amanah untuk
menglola alam ini sesuai kemampuan yang dimilikinya, dilindungi haknya untuk
memperoleh harta dengan cara yang halal, sah menurut hukum dan benar menurut
ukuran moral, dan dipergunakan secara sosial.[7]
Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan
pertama dan utama dari pendidikan Islam. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan
hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan ini tidak
terjamin, akan terjadi kekacauan di mana-mana. Kelima kebutuhan yang primer ini
disebut dengan istilah Al-Daruriyat al-Khamsah atau
dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid
al-Khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran,
keturunan, dan hak milik.
Jika diperhatikan dengan seksama, tujuan pendidikan Islam ditetapkan
oleh Allah untuk memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan
primer (al-maqasidu
al-khamsah), sekunder (hajiyat) , dan tertier (tahsinat).41 Oleh karena
itu, apabila seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
Allah, maka ia akan selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Beberapa keterangan mengenai tujuan pendidikan Islam di atas sesuai dengan
tujuan pendidikan multicultural, yaitu untuk menciptakan kehidupan yang
harmonis dalam masyarakat yang serba majemuk.
[1] Mudjahirin Thohir, “Nasionalisme Indonesia: Membingkai Pluralitas dalam Kedamaian”, dalam Zudi Setiawan, Nasionalisme NU (Semarang:
Aneka Ilmu), hlm. 300.
[2] Johan Effendi, Kemusliman dan Kemajemukan Agama
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 61.
[3] Athiyyah al-Abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa
Falsafatuha (Beirut: Dar al-Fikr. 1969), hlm 22.
[4] Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 198.
[5] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna:
Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, hlm.
102.
[6] Minuman yang memabukkan baik minuman
tersebut dinamakan khamr atau bukan khamr, baik
yang berasal dari perasan anggur maupun yang bukan berasal dari perasan anggur.
Lihat dalam Abd al-Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamiy, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm. 498.
[7] Anwar Haryono, Hukum Islam: Keluasan
dan Keadilan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968) hlm.
140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar