Maka dari itu hati memiliki dua
pintu, satu pintu terbuka ke arah alam malakut ( alam ghaib), yaitu lauhul
mahfudh dan alam kemalaikatan (alam rohani), dan satu pintu yang lain terbuka
kea rah panca inderaan (lima indera) yang berkaitan dengan alam keduniaan
(fisik) atau alam yang bisa disaksikan oleh panca indera. Alam indera ini
merupakan cerminan dari alam kemalaikatan (lauh mahfudz). Pintu yang mengarah
pada lauhul mahfudz bisa difahamiseperti halnya keajaiban mimpi yang benar
secara yakin dimana hati bisa menghayati di tengah tidur akahn hal yang akan
terjadi dikemudian hari atau masa lalu tanpa tanggapan dari inderawi.adapun
pintu hati yang mengaruh kedalam bisa terbuka bagi orang-orang yang menyendiri
untuk berdzikir kepada Allah SWT.
Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Imam
Al^Ghazali mirip dengan platotentang alam ideadan kaitannya dengan alam
materiil(duniawi) dalam ham ini Al Ghazali menerangkan sebagai berikut:
“Seperti
halnya arsitek yang akan menggambar gedung yang akan dibangunnya diatas
kertas,baru kemudian dilaksanakan pembangunannya sesuai dengan naskah alam
semesta secara lengkap dari awal hingga akhirnya didalam lauhul mahfudz, baru
kemudian (secara urut) diwujudkan dalam kenyataan sesuai dengan naskah
tersebut. (Ihya ‘Ulumuddin Bab III, hal 19). “
dari nukilan
tersebut ia mencoba menjelaskan hubungan ilmu laduniyyah dengan ilmu yang dipelajari par ilmuan yang
beliau sebut ilmu ta’limiyyah. Menurut Al Ghazali hubungan keduanyalaksana
hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Jadi mirip betul teori plato bahwa
ilmu yang ada dalam alam ide itu lebih murni dari yang telah digelar dialam
raya. Namun keduanya persis samaseperti halnya naskah asli dengan duplikatnya
atau tindasannya. Oleh karena itu lantaran ilmu laduniyyah dicapai melalui
penghayatan kasyaf, maka para sufi tidak telaten belajar melalui pengkajian
buku-buku atau penelitian secara gremet terhadap kenyataan alamiyah
sepertihalnya ilmuan. Dalam ini al Ghazali dalam ihya ulumuddin Bab III hal. 18
mengatakan :
“Jika
engkau telah tau yang demikian itu, ketahuilah bahwa kecenderungan para ahli
tasawuf ialah kepada ilmu-ilmu ilhami bukannya pada ilmu ta’limiyyah, oleh
karenanya mereka tak bernafsu untuk
mempelajari ilmu dan mengkaji kitab-kitab yang disusun para pengarangnya, dan
membahas pendapat-pendapat mereka beserta dalil-dalil yang disebutkannya. Akan
tetapi para sufi mengatakan jalanya adalah mendahulukan mujahadah(latihan
rohani) dan menghapuskan segala sifat yang tercela, dan melepaskan segala
kaitan hati denagndunia secara keseluruhan, dan menhapuskan sepenuh hati hanya
kepada Allah SWT. Bila hal ini berhasil, maka Allahlah yang akan merahmati hati
hambanya dengan nur ilminya, BIla Allah telah berkenan merahmati hambanya, dan
terbukalah baginya rahasia alam ghaib dan tersingkaplah segala kegelapan dengan rahmat Allah maka bercahaya
lah hakikat keilahiannya. Maka yang diperlukan bagi hamba tak lain hanyalah
mempersiapkan diri dengan penucian hati saja, dan menghadapkan keteguhan kemaunanya
dengan niat yang benar dan kerinduan jiwa yang meluap-luap kemudian sabar
menanti rahmat apa yang akan dibukakan Allah SWT. Para nabi dan para wali telah
dianungrahi terbukanya tabir, bukan dengan jalan belajar dan mengkaji buku-buku
yang tersurat, akan tetapi hanya dengan perantara menjauhi (zuhud) terhadap
keduniaan, dan melepaskan segala persangkutan hati (pada selain Allah), dan
mengosongkan hati dari segala yang menyibukkan (melalaikan), dan menekunkan
pemusatan hati hanya pada Allah SWT semata.”
Uraian tersebut menunjukkan betapa
eratnya kaitan antara penghayatan kasyaf dalam tasawufdengan ilmu ghaib. Ilmu
ghaib memang anak kendung dari ajaran tasawuf, bahkan ilmu ghaib ini bahkan
merupakan kebanggaandan mereka jadikan tanda keluarviasaan seorang ulama
sufi.ilmu ghaib ini mereka namakan keramat atau mereka yakini sebagai khaariqul al ‘adah (luar biasa), sejenis
dengan mukjizatnya paranabi.sufi yang menguasai ilmu ghaib mereka digelari
sebagai wali Allah (the saint, orang suci kekasih Allah). Bahkan para sufi pada
umumnya dan kususnuya Imam Al Ghazali memandang dan meyakini bahwa penghayatan
kejiwaan yang mistis atau kasyaf itu sebagai wahyu minor, selapis nilainya
dibawah wahyu kenabian. Hal ini diungkapkan Al Ghazali dalam al
Tidak ada komentar:
Posting Komentar