Senin, 01 Oktober 2018

Dua Pintu Hati


          Maka dari itu hati memiliki dua pintu, satu pintu terbuka ke arah alam malakut ( alam ghaib), yaitu lauhul mahfudh dan alam kemalaikatan (alam rohani), dan satu pintu yang lain terbuka kea rah panca inderaan (lima indera) yang berkaitan dengan alam keduniaan (fisik) atau alam yang bisa disaksikan oleh panca indera. Alam indera ini merupakan cerminan dari alam kemalaikatan (lauh mahfudz). Pintu yang mengarah pada lauhul mahfudz bisa difahamiseperti halnya keajaiban mimpi yang benar secara yakin dimana hati bisa menghayati di tengah tidur akahn hal yang akan terjadi dikemudian hari atau masa lalu tanpa tanggapan dari inderawi.adapun pintu hati yang mengaruh kedalam bisa terbuka bagi orang-orang yang menyendiri untuk berdzikir kepada Allah SWT.
        Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Imam Al^Ghazali mirip dengan platotentang alam ideadan kaitannya dengan alam materiil(duniawi) dalam ham ini Al Ghazali menerangkan sebagai berikut:

“Seperti halnya arsitek yang akan menggambar gedung yang akan dibangunnya diatas kertas,baru kemudian dilaksanakan pembangunannya sesuai dengan naskah alam semesta secara lengkap dari awal hingga akhirnya didalam lauhul mahfudz, baru kemudian (secara urut) diwujudkan dalam kenyataan sesuai dengan naskah tersebut. (Ihya ‘Ulumuddin  Bab III, hal 19).

dari nukilan tersebut ia mencoba menjelaskan hubungan ilmu laduniyyah dengan        ilmu yang dipelajari par ilmuan yang beliau sebut ilmu ta’limiyyah. Menurut Al Ghazali hubungan keduanyalaksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya. Jadi mirip betul teori plato bahwa ilmu yang ada dalam alam ide itu lebih murni dari yang telah digelar dialam raya. Namun keduanya persis samaseperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau tindasannya. Oleh karena itu lantaran ilmu laduniyyah dicapai melalui penghayatan kasyaf, maka para sufi tidak telaten belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara gremet terhadap kenyataan alamiyah sepertihalnya ilmuan. Dalam ini al Ghazali dalam ihya ulumuddin Bab III hal. 18 mengatakan :

“Jika engkau telah tau yang demikian itu, ketahuilah bahwa kecenderungan para ahli tasawuf ialah kepada ilmu-ilmu ilhami bukannya pada ilmu ta’limiyyah, oleh karenanya mereka tak bernafsu  untuk mempelajari ilmu dan mengkaji kitab-kitab yang disusun para pengarangnya, dan membahas pendapat-pendapat mereka beserta dalil-dalil yang disebutkannya. Akan tetapi para sufi mengatakan jalanya adalah mendahulukan mujahadah(latihan rohani) dan menghapuskan segala sifat yang tercela, dan melepaskan segala kaitan hati denagndunia secara keseluruhan, dan menhapuskan sepenuh hati hanya kepada Allah SWT. Bila hal ini berhasil, maka Allahlah yang akan merahmati hati hambanya dengan nur ilminya, BIla Allah telah berkenan merahmati hambanya, dan terbukalah baginya rahasia alam ghaib dan tersingkaplah segala  kegelapan dengan rahmat Allah maka bercahaya lah hakikat keilahiannya. Maka yang diperlukan bagi hamba tak lain hanyalah mempersiapkan diri dengan penucian hati saja, dan menghadapkan keteguhan kemaunanya dengan niat yang benar dan kerinduan jiwa yang meluap-luap kemudian sabar menanti rahmat apa yang akan dibukakan Allah SWT. Para nabi dan para wali telah dianungrahi terbukanya tabir, bukan dengan jalan belajar dan mengkaji buku-buku yang tersurat, akan tetapi hanya dengan perantara menjauhi (zuhud) terhadap keduniaan, dan melepaskan segala persangkutan hati (pada selain Allah), dan mengosongkan hati dari segala yang menyibukkan (melalaikan), dan menekunkan pemusatan hati hanya pada Allah SWT semata.”

        Uraian tersebut menunjukkan betapa eratnya kaitan antara penghayatan kasyaf dalam tasawufdengan ilmu ghaib. Ilmu ghaib memang anak kendung dari ajaran tasawuf, bahkan ilmu ghaib ini bahkan merupakan kebanggaandan mereka jadikan tanda keluarviasaan seorang ulama sufi.ilmu ghaib ini mereka namakan keramat atau mereka yakini sebagai khaariqul al ‘adah (luar biasa), sejenis dengan mukjizatnya paranabi.sufi yang menguasai ilmu ghaib mereka digelari sebagai wali Allah (the saint, orang suci kekasih Allah). Bahkan para sufi pada umumnya dan kususnuya Imam Al Ghazali memandang dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan yang mistis atau kasyaf itu sebagai wahyu minor, selapis nilainya dibawah wahyu kenabian. Hal ini diungkapkan Al Ghazali dalam al

Tidak ada komentar:

Posting Komentar