Rabu, 03 Juni 2020

Bentuk-bentuk Hadits


A.  BENTUK-BENTUK HADIS
Dilihat dari segi bentuknya, hadis Nabi dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu: hadis yang berupa ucapan (hadis qawli), hadis yang berupa perbuatan (hadis fi’li), hadis yang berupa persetujuan (hadis taqriri), hadis yang berupa hal ihwal (hadis ahwali), dan hadis yang berupa cita-cita (hadis hammi).

1.    Hadis yang Berupa Ucapan (Qawli)
Segala perkataan Nabi baik yang berkenaan dengan ibadah maupunkehidupan sehari-hari disebut dengan hadis qawli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi. Perkataan itu berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa. Dan kisah-kisah, baik yang berkaiatan dengan aspek akidah, syari’ah, maupun akhlak. Contoh hadis qawli adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّوَصَوْمِ رَمَضَانَ
”Islam ditegakan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa bulan Ramadhan”.
Periwayatan hadis secara qawli oleh Nabi dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, sabda Nabi disampaiakan di hadapan orang banyak, baik melalui majlis ‘ilm, khutbah, ceramah, dan sebagainya. Hadi diampaikan dihadapan orang banyakyang terdiri dari kaum laik-laki, melalui pengajian rutin di kalangan mereka, dan juga meleui pengajian di kalangan wnaita. Kondisi ini, sebagaimana diriwyatkan oleh Abu Sa’id al Khudzri, bahwa suatu ktika kaum wanita mempersoalkan tentang jatah waktu pengajian antara kaum pria dan wanita, sebab pengajian saat itu lebih banyak dilakukan di kalangan kaum pria. Para wanita itu berkata, “kaum pria telah mengalahkan kami untuk memperoleh pengajaran dari Engkau. Karena itu, mohon engkau menyiapkan satu hari untuk kami.” Maka Nabi menjanjikan suatu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu. Dalam pengajian itu Nabi memberi nasihat dan menyuruh mereka berbuat kebajikan. Nabi bersabda.



“Tidaklah seseorang dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka”. Seorang wanita bertanya, “Dan bagaiman jika yang mati dua orang anak?” Nabi menjawab, “Dua orang anak (juga menjadi dinding baginya dari api neraka”.

Kedua, sabda Nabi dikemukakan di depan seorang atau beberapa orang saja. Hadis qawli disampaikan oleh Nabi di depan salah seorang sahabat baik yang berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat itu maupun tidak. Misalnya , ada seorang wanitayang bertanya kepada Nabi tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita untuk mandi sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi itu. Maka Nabi bersabda:


“Ambilah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kesturi, maka bersihkanlah dengannya”.
Wanita tersebut bertanya lagi, “Bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda, “bersihkanlah dengannya”. Wanita itu masih betanya lagi, “Bagaimana (cara-nya)?”. Nabi bersabda, Subhanallah, hendaklah kamu bersihkan”. Maka Aisyah, istri Nabi berkata “Wanita itu saya tarik ke arah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkan seperca kain itu ke tempat bekas darah”.

Meskipun hadis di atas berkenaan dengan tuntutan teknis suatu kegiatan, yaitu cara membersihkan darah bagi wanita yang selesai haid, hadis itu bukan kategori fi’li, sebab di dalamnya tidak terdapat peragaan Nabi tentang cara mandi bagi wnaita yang baru selesai haid. Nabi hanya memberi tuntunan bagaimana caranya mandi setelah haid itu melalui sabdanya.

Ketiga, hadis qawli dikemukakan oleh Nabi sebab tertentu yang mendorongnya menyampaikan hadis yang berkenaan dengan peristiwa tertentu itu. Sebab tertentu itu, dalam ilmu hadis, disebut dengan asbab wurud al-hadis, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan hadis disabdakan oleh Nabi. Ketika Rasulullah mengangkat seorang pejabat pengumpul zakat (‘amil), misalnya, saat pejabat itu selesai melaksanakan tugasnya, dia datang kepada Nabi dan berkata, “Rasulullah ini untuk engkau dan ini hadiah yang diberikan orang kepada saya”. Maka Nabi bersabda kepada sahabat itu, “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah dan ibumu sehingga kamu dapat melihat, apakah dengan demikian kamu juga akan memperoleh hadiah atau tidak?”

Kondisi di atas, pada malam harinya setelah shalat isya’ mendorong Nabi berpidato di depan orang banyak. Sesudah mebmbaca syahadat (al-syahadatayn) dan memuji Allah (hamdalah), Nabi bersabda:
“Adapun sesudah itu bagaimanakah halnya, bila seorang pejabat yang kami serahi tugas kalau dia datang melapor kepada kami seraya berkata: “Ini adalah hasil tugas yang berasal dari Anda, sedang ini adalah bagian yang dihadiahkan kepada saya”. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sehingga dia dapat melihat apakah dia akan diberi hadiah (oleh orang)ataukah tidak. Demi Allah yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tiadalah seorang dari kalian melakukan ssuatu pengkhianatan (korupsi), kecuali nanti pada hari kiamat dia akan memukul beban di lehernya. Jika yang dikorupsi adalah seekor unta, maka dia akan datang dengan suara unta; jika (yang dikorupsi) adalah seekor sapi, maka orang itu akan datang dengan meenguh seperti sapi; bila (yang dikorupsi) adalah seekor kambing, maka orang itu datang dengan mengembek. Sungguh (hal ini) telah kusampaikan kepada kalian”.
Abu Hamayd al-Sa’di, sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis di atas, berkata: “Kemudian Rasulullah mengangkat kedua tangan beliau, sehingga kami melihat warna putih pada kedua ketiak beliau.”

Terlihat pada riwayat di atas, Nabi menyampaikan hadisnya dengan lisan di hadapan orang banyak. Hadis itu disampaikan Nabi sebagai teguran terhadap seorang petugas yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat. Ketika berpidato menyampaikan peristiwa pelanggaran itu, nabi tidak mnyebutkan nama petugas yang telah ditegurnya. Kasus sahabat tersebut memotivasi Nabi berpidato di depan untuk memperingatkan mereka agar tidak berbuat hal serupa.

Keempat, pada umumnya, hadis dalam bentuk sabda tidak disertai dengan sebab tertentu. Nabi bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorongnya untuk menyampaikan hadis. Hadis kategori ini disampaikan oleh Nabi dalam rangka menyampaikan ajaran islam sebagai tugas risalahnya meskipun tidak ada yang melatarbelakangi kemunculan hadis dimaksud. Misalnya, hadis tentang bacaan ringan yang dicintai oleh Allah. Dengan menyampaikan hadis ini, Nabi bermaksud agar umat islam melakukannya. Nabi bersabda:
“Dua kata yang ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan (kebajikannya), serta dicintai oleh Allah yang Mahapengasih, yaitu (ucapan), “Subhan Allah wa bi hamdih subhan Allah al-‘Azhim.”

Kelima, pada umumnya, nabi tidak menyertakan perintah untuk menulis sabda itu kepada sahabat tertentu. Nabi hanya bersabda dan seorang atau beberapa sahabat mendengarkannya. Akan tetapi, adakalanya Nabi menyertakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulis sabda yang diucapkannya itu.

2.    Hadis yang Berupa Perbuatan (Fi’li)
Dimaksud dengan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disndarkan kepada Nabi seperti cara Nabi melaksanakan shalat, wudhu, dan lain-lain ynag disampaikan kepada umat islam melalui sahabat. Hadis tersebutberupa perbuatan Nabi yang menjadi aturan perilaku sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat islam untuk mengikutinya. Contoh hadis fi’li:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة

Artinya: ”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”. (HR. Turmudzi)

Hadis yang berupa perbuatan tidak diketahui langsung oleh Nabi tetapi melalui informasi yang disampaikan oleh sahabat. Ketika Nabi melakukan sesuatu, sahabat menyaksikan perbuatnnya kemudian disampaikan kepada sahabat lain. Hadis fi’li dilihat dari proses periwayatnnyamasuk kategori hadis yang disampaikan sahabat, dalam arti para sahabat yangmenyampaikan kandungan hadis yang berupa perbuatan itu kepada para generasi sesama sahabat atau generasi berikutnya. Sekilas, karena yang menyampaikan sahabat secara verbal, hadis ini termasuk hadis mawquf, namun sesungguhnya tidak. Alasannya, hadis mawquf dinisbahkan pada sahabat, jadi sahabat yang menjadi sumber berita, sementara hadis fi’li sumber beritanya adalah Nabi dan karenanya bersifat marfu’, Hadis fi’li ini juga mempunyai beberapa kategori:

Pertama, hadis yang berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Nabi melakukan suatu perbuatan yang disaksikan oleh seorang atau lebih sahabat yang disebabkan faktor tertentu. Penyebab Nabi berbuat atau bersabda bermacam-macam.

Kedua, hadis fi’li yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadis-hadis yang berbentuk perbuatan yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu lebih banyak dibanding hadis-hadis yang disebabkan oleh faktor tertentu. Hal ini dapat dimaklumi, karena nbi berbuat tiap hari dan kebanyakan perbuatannya itu terjadi tanpa didahului oleh sebab tertentu yang menjadi motivasinya. Jumlah hadis kategori ini sangat banyak mencakup segala aktivitas yang Nabi lakukan baik berkenaan dengan ibadah maupun muamalah, bahkan berita tentang doa-doa Nabi juga merupakan sebagian dari hadis fi’li, Misalnya:

“Do’a yang paling banyak dilakukan Nabi saw, adalah Allahumma atina fi al-dun-ya hasanah wa fi al-akhirah hasanah waqina ‘adzaba al-nar” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Hadis diatas menjelaskan bahwa aktivitas doa yang paling banyak dilakukan oleh rasulullah adalah do’a tentang permohonan kehidupan yang sejahteradi dunia dan dan akhirat, serta terhindar dari siksa api neraka. Karena doa ini dilakukan oleh Nabi apalagi dilakukan secara berulang kali, maka dapat dinilai sebagai perbuatan Nabi.
Ketiga, hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan orang banyak. Sebagaimana diinformasikan oleh ‘Aisyah, pada suatu malam Rasulullah shalat di masjid. Lalu orang-orang ikut shalat bersama Nabi. Pada malam berikutnya, Nabi shalat lagi di Masjid, orang-orang yang ikut shalat bersama Nabi pun semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang berkumpul lagi untuk melakukan shalat jamaah dengan Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak keluar dari kediamannya. Pada waktu shubuh Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi saya untuk keluar menjumpai kalian, terkecuali saya sesungguhnya khawatir kalian akan menyangka bahwa shalat malam tersebut diwajibkan atas kalian”

Peristiwa bahawa pada suatu malam Rasulullah shalat di masjid dan diikuti orang-orang shalat bersama Nabi dan pada malam berikutnya Nabi shalat lagi di Masjid yang diikuti oleh orang-orang yang semakin banyak, tetapi Rasulullah tidak keluar dari kediamannyameskipun banyak orang menunggu itu terjadi pada bulan Ramadhan. Perbuatan nabi tersebut dilihat dan disaksikan oleh para sahabat yang saat itu mengikuti shalat berjamaah bersama Nabi.
Keempat, hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan satu atau beberapa orang saja. Diantara contoh hadis fo’li kategori ini adalah sebuah hadis tentang cara shalat Nabi di atas kendaraan, yang berbunyi:

“Nabi shalat di atas tungganganya, ke mana saja tunggangannya itu mengahadap”
            Aktifitas sebagaimana dikandung oleh hadis diatas dilakukan oleh rasulullah di depan beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti Nabi dalam perjalanan, tidak dilakukan Nabi di dean khalayak ramai seperti halnya khutbah.


3.    Hadis yang Berupa Persetujuan (Taqriri)
Tidak semua meteri hadis secara utuh berasal dari Nabi, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagiannya adalah perkataan atau perbuatan sahabat, baik yang dilakukan di depan Nabi atau sebelum itu yang kemudian dikonfirmasi pada Nabi. Hadis kategori ini dalam terminologi hadis disebut dengan hadis taqriri, yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Menurut ‘Abd al-wahab Khallaf dalam bukunya ‘ilm Ushul al-Fiqh, hadis taqriri adalah penetapan Rasulullah atas sesuatu yang dilakukan oleh sahabat baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara Rasulullah diam (tidak menyangkal), setuju, dan menganggapnya bagus. Dalam hal ini, Nabi membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya.

Jadi, materi dalam hadis kategori ini bukan dari Nabi melainkan dari para sahabat yang kemudian disetujui oleh Nabi. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah dan/atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan hukum. Karena pada dasarnya, seandainya Nabi tidak menyetujui perbuatan itu, niscaya dia menolak atau melarangnya.
Contoh hadis taqriri adalah hadis riwayat Abu Dawud berikut: “Dua orang laki-laki pergi melakukan perjalanan. Ketika sampai waktu shalat dan keduanya tidak mendapatkan air, mereka bertayamum dengan debu yang bersih lalu mendirikan shalat. Setelah itu, mereka menemukan air. Salah seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat, sedang yang lainnya tidak mengulanginya. Keduanya datang menghadap Rasulullah dan meneceritakan hal itu. Kepada yang tidak mengulangi Rasulullah bersabda: Engkau telah mengerjakan menurut sunnah. Sedang kepada yang lainnya Nabi bersabda: Engkau mendapatkan pahala dua kali.
            Pada hadis lain yang berupa persetujuan disebutkan bahwa Rasulullah membiarkan para sahabat memkaan daging Biawak, akan tetapi Nabi sendiri tidak memakan daging tersebut dan tidak mengharamkannya. Meskipun Nabi tidak makan daging biawak tidak menunjukan bahwa daging itu haram, ssebab ia memebiarkan sahabat makan daging itu tanpa menegur mereka. Pada kesempatan lain Rasululah menyetujui kebujakan yang diambil Muadz ketika menjadi hakim di Yaman. Sikap Rasulullah terhadap jawaban Mu’adz ibn Jabal atas pertanyaan yang disampaikan kepadanya ketika akan diutus untuk menangani masalah peradilan di Yaman yang meneuturkan bahwa ia akan menyelesaikan perkara dengan Al-Qur’an, hadis dan ijtihadnya. Juga merupakan salah satu contoh hadis taqriri. Dalam hal ini, pernyataan Nabi yang menyatakan pujian bagi Allah karena memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah (Mu’adz) sebagaiman dikehendaki-Nya menunjukan persetujuan Nabi terhadap tindakan Mu’adz itu.

4.    Hadis yang Berupa Cita-cita (Hammi)
Sebagaimana manusia pada umumnya, Nabi mempunyai cita-cita. Sebagian cita-cita itu tercapai dan sebagiannya tidak. Hadis yang berisi tentang cita-cita Nabi disebut dengan hadis Hammi, yaitu hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum terealisasikan. Hadis kategori ini tidak disebutkan dalam dalam beberapa definisi hadis baik oleh ulama hadis, ulama ushul maupun ulama fiqih.

Secara realitas, hadis hammi belum terwujud tetapi masih dalam ide dan keinginan yang pada pelaksanaannya akan dilakukan pada masa sesudahnya. Karena itu, pada hakikatnya, hadis kategori ini bukan perbuatan, perkataan, persetujuan atau sifat-sifat Nabi. Tetapi, perbuatan yang akan dilakukan oleh Nabi pada masa-masa berikutnya dan belum terwujud ketika Nabi menginginkannya, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam sebuah hadis dari Ibn Abbas dinyataka bahwa ketika Nabi berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Nabi bersabda:

بِصِيَامِهِ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِع 

 Artinya “Ketika Nabi saw. Berpasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, Ya, Nabi! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Lalu Nabi saw. Bersabda, Tahun yang akan datang insyaallah akan berpuasa pada hari yang ke sembilan (HR. Muslim)

Sikap Nabi demikian untuk menghindari waktu yang bersamaan dengan puasa orang yahudi dan Nasrani. Pada saat hadis di atas disabdakan, Nabi berpuasa pada tanggal 10 dan setelah para sahabat memberi tahu bahwa saat itu adalah saat puasa bagi pemeluk dua agama di atas. Nabi kemudian bercita-cita untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura. Hasrat dan cita-cita itu belum sempat terealisasi karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya.

Dengan demikian, dilihat dari esensinya, hadis yang berupa cita-cita belum terwujud tetapi masih pada tataran keinginan yang belum dilaksanakan. Hadis kategori ini relatif sedikit dibanding dengan kategori hadis-hadis lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar