A.
BENTUK-BENTUK HADIS
Dilihat
dari segi bentuknya, hadis Nabi dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu:
hadis yang berupa ucapan (hadis qawli), hadis yang berupa perbuatan
(hadis fi’li), hadis yang berupa persetujuan (hadis taqriri),
hadis yang berupa hal ihwal (hadis ahwali), dan hadis yang berupa
cita-cita (hadis hammi).
1.
Hadis yang Berupa Ucapan (Qawli)
Segala
perkataan Nabi baik yang berkenaan dengan ibadah maupunkehidupan sehari-hari
disebut dengan hadis qawli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan
yang disandarkan kepada Nabi. Perkataan itu berisi berbagai tuntutan dan
petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa. Dan kisah-kisah, baik yang berkaiatan
dengan aspek akidah, syari’ah, maupun akhlak. Contoh hadis qawli adalah hadis
yang diriwayatkan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah bersabda:
بُنِيَ
الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
وَالْحَجِّوَصَوْمِ رَمَضَانَ
”Islam
ditegakan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan
haji, dan berpuasa bulan Ramadhan”.
Periwayatan
hadis secara qawli oleh Nabi dilakukan dengan beberapa cara. Pertama,
sabda Nabi disampaiakan di hadapan orang banyak, baik melalui majlis ‘ilm,
khutbah, ceramah, dan sebagainya. Hadi diampaikan dihadapan orang banyakyang
terdiri dari kaum laik-laki, melalui pengajian rutin di kalangan mereka, dan
juga meleui pengajian di kalangan wnaita. Kondisi ini, sebagaimana diriwyatkan
oleh Abu Sa’id al Khudzri, bahwa suatu ktika kaum wanita mempersoalkan tentang
jatah waktu pengajian antara kaum pria dan wanita, sebab pengajian saat itu
lebih banyak dilakukan di kalangan kaum pria. Para wanita itu berkata, “kaum
pria telah mengalahkan kami untuk memperoleh pengajaran dari Engkau. Karena
itu, mohon engkau menyiapkan satu hari untuk kami.” Maka Nabi menjanjikan
suatu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu. Dalam pengajian
itu Nabi memberi nasihat dan menyuruh mereka berbuat kebajikan. Nabi bersabda.
“Tidaklah
seseorang dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan
ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka”. Seorang
wanita bertanya, “Dan bagaiman jika yang mati dua orang anak?” Nabi menjawab,
“Dua orang anak (juga menjadi dinding baginya dari api neraka”.
Kedua, sabda Nabi dikemukakan di depan seorang atau beberapa orang saja.
Hadis qawli disampaikan oleh Nabi di depan salah seorang sahabat baik yang
berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat itu maupun tidak.
Misalnya , ada seorang wanitayang bertanya kepada Nabi tentang mandi bagi
wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita untuk mandi
sebagaimana mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi itu. Maka
Nabi bersabda:
“Ambilah
seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kesturi, maka
bersihkanlah dengannya”.
Wanita tersebut bertanya lagi, “Bagaimana
saya membersihkannya?” Nabi bersabda, “bersihkanlah dengannya”.
Wanita itu masih betanya lagi, “Bagaimana (cara-nya)?”. Nabi bersabda, Subhanallah,
hendaklah kamu bersihkan”. Maka Aisyah, istri Nabi berkata “Wanita itu
saya tarik ke arah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkan seperca
kain itu ke tempat bekas darah”.
Meskipun
hadis di atas berkenaan dengan tuntutan teknis suatu kegiatan, yaitu cara
membersihkan darah bagi wanita yang selesai haid, hadis itu bukan kategori fi’li,
sebab di dalamnya tidak terdapat peragaan Nabi tentang cara mandi bagi wnaita
yang baru selesai haid. Nabi hanya memberi tuntunan bagaimana caranya mandi
setelah haid itu melalui sabdanya.
Ketiga, hadis qawli dikemukakan oleh Nabi sebab tertentu yang mendorongnya
menyampaikan hadis yang berkenaan dengan peristiwa tertentu itu. Sebab tertentu
itu, dalam ilmu hadis, disebut dengan asbab wurud al-hadis, yaitu faktor-faktor
yang menyebabkan hadis disabdakan oleh Nabi. Ketika Rasulullah mengangkat
seorang pejabat pengumpul zakat (‘amil), misalnya, saat pejabat itu selesai
melaksanakan tugasnya, dia datang kepada Nabi dan berkata, “Rasulullah ini
untuk engkau dan ini hadiah yang diberikan orang kepada saya”. Maka Nabi
bersabda kepada sahabat itu, “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah
dan ibumu sehingga kamu dapat melihat, apakah dengan demikian kamu juga akan
memperoleh hadiah atau tidak?”
Kondisi
di atas, pada malam harinya setelah shalat isya’ mendorong Nabi berpidato di
depan orang banyak. Sesudah mebmbaca syahadat (al-syahadatayn) dan memuji Allah
(hamdalah), Nabi bersabda:
“Adapun
sesudah itu bagaimanakah halnya, bila seorang pejabat yang kami serahi tugas
kalau dia datang melapor kepada kami seraya berkata: “Ini adalah hasil tugas
yang berasal dari Anda, sedang ini adalah bagian yang dihadiahkan kepada saya”.
Mengapa dia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, sehingga dia dapat
melihat apakah dia akan diberi hadiah (oleh orang)ataukah tidak. Demi Allah
yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tiadalah seorang dari kalian
melakukan ssuatu pengkhianatan (korupsi), kecuali nanti pada hari kiamat dia
akan memukul beban di lehernya. Jika yang dikorupsi adalah seekor unta, maka
dia akan datang dengan suara unta; jika (yang dikorupsi) adalah seekor sapi,
maka orang itu akan datang dengan meenguh seperti sapi; bila (yang dikorupsi)
adalah seekor kambing, maka orang itu datang dengan mengembek. Sungguh (hal
ini) telah kusampaikan kepada kalian”.
Abu
Hamayd al-Sa’di, sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis di atas, berkata: “Kemudian
Rasulullah mengangkat kedua tangan beliau, sehingga kami melihat warna putih
pada kedua ketiak beliau.”
Terlihat
pada riwayat di atas, Nabi menyampaikan hadisnya dengan lisan di hadapan orang
banyak. Hadis itu disampaikan Nabi sebagai teguran terhadap seorang petugas
yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat. Ketika
berpidato menyampaikan peristiwa pelanggaran itu, nabi tidak mnyebutkan nama
petugas yang telah ditegurnya. Kasus sahabat tersebut memotivasi Nabi berpidato
di depan untuk memperingatkan mereka agar tidak berbuat hal serupa.
Keempat, pada umumnya, hadis dalam bentuk sabda tidak disertai dengan
sebab tertentu. Nabi bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorongnya untuk
menyampaikan hadis. Hadis kategori ini disampaikan oleh Nabi dalam rangka
menyampaikan ajaran islam sebagai tugas risalahnya meskipun tidak ada yang
melatarbelakangi kemunculan hadis dimaksud. Misalnya, hadis tentang bacaan
ringan yang dicintai oleh Allah. Dengan menyampaikan hadis ini, Nabi bermaksud
agar umat islam melakukannya. Nabi bersabda:
“Dua
kata yang ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan (kebajikannya), serta
dicintai oleh Allah yang Mahapengasih, yaitu (ucapan), “Subhan Allah wa bi
hamdih subhan Allah al-‘Azhim.”
Kelima, pada umumnya, nabi tidak menyertakan perintah untuk menulis sabda
itu kepada sahabat tertentu. Nabi hanya bersabda dan seorang atau beberapa
sahabat mendengarkannya. Akan tetapi, adakalanya Nabi menyertakan perintah
kepada sahabat tertentu untuk menulis sabda yang diucapkannya itu.
2.
Hadis yang Berupa Perbuatan (Fi’li)
Dimaksud
dengan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disndarkan kepada Nabi seperti
cara Nabi melaksanakan shalat, wudhu, dan lain-lain ynag disampaikan kepada
umat islam melalui sahabat. Hadis tersebutberupa perbuatan Nabi yang menjadi
aturan perilaku sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat
islam untuk mengikutinya. Contoh hadis fi’li:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ
حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَة
Artinya:
”Rasulullah saw pernah shalat di atas tunggangannya, ke mana pun tunggangannya
menghadap. Apabila ia mau melaksanakan shalat fardhu, ia turun dari
tunggangannya, lalu menghadap ke kiblat ”.
(HR. Turmudzi)
Hadis
yang berupa perbuatan tidak diketahui langsung oleh Nabi tetapi melalui
informasi yang disampaikan oleh sahabat. Ketika Nabi melakukan sesuatu, sahabat
menyaksikan perbuatnnya kemudian disampaikan kepada sahabat lain. Hadis fi’li
dilihat dari proses periwayatnnyamasuk kategori hadis yang disampaikan sahabat,
dalam arti para sahabat yangmenyampaikan kandungan hadis yang berupa perbuatan
itu kepada para generasi sesama sahabat atau generasi berikutnya. Sekilas,
karena yang menyampaikan sahabat secara verbal, hadis ini termasuk hadis
mawquf, namun sesungguhnya tidak. Alasannya, hadis mawquf dinisbahkan pada
sahabat, jadi sahabat yang menjadi sumber berita, sementara hadis fi’li sumber
beritanya adalah Nabi dan karenanya bersifat marfu’, Hadis fi’li ini juga
mempunyai beberapa kategori:
Pertama, hadis yang berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu.
Nabi melakukan suatu perbuatan yang disaksikan oleh seorang atau lebih sahabat
yang disebabkan faktor tertentu. Penyebab Nabi berbuat atau bersabda
bermacam-macam.
Kedua, hadis fi’li yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadis-hadis
yang berbentuk perbuatan yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu lebih banyak
dibanding hadis-hadis yang disebabkan oleh faktor tertentu. Hal ini dapat
dimaklumi, karena nbi berbuat tiap hari dan kebanyakan perbuatannya itu terjadi
tanpa didahului oleh sebab tertentu yang menjadi motivasinya. Jumlah hadis
kategori ini sangat banyak mencakup segala aktivitas yang Nabi lakukan baik
berkenaan dengan ibadah maupun muamalah, bahkan berita tentang doa-doa Nabi juga
merupakan sebagian dari hadis fi’li, Misalnya:
“Do’a yang paling banyak dilakukan
Nabi saw, adalah Allahumma atina fi al-dun-ya hasanah wa fi al-akhirah
hasanah waqina ‘adzaba al-nar” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Hadis
diatas menjelaskan bahwa aktivitas doa yang paling banyak dilakukan oleh
rasulullah adalah do’a tentang permohonan kehidupan yang sejahteradi dunia dan
dan akhirat, serta terhindar dari siksa api neraka. Karena doa ini dilakukan
oleh Nabi apalagi dilakukan secara berulang kali, maka dapat dinilai sebagai
perbuatan Nabi.
Ketiga, hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan orang
banyak. Sebagaimana diinformasikan oleh ‘Aisyah, pada suatu malam Rasulullah
shalat di masjid. Lalu orang-orang ikut shalat bersama Nabi. Pada malam
berikutnya, Nabi shalat lagi di Masjid, orang-orang yang ikut shalat bersama
Nabi pun semakin banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang
berkumpul lagi untuk melakukan shalat jamaah dengan Rasulullah, akan tetapi
Rasulullah tidak keluar dari kediamannya. Pada waktu shubuh Rasulullah
bersabda:
“Sesungguhnya
saya telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada sesuatupun yang
menghalangi saya untuk keluar menjumpai kalian, terkecuali saya sesungguhnya
khawatir kalian akan menyangka bahwa shalat malam tersebut diwajibkan atas kalian”
Peristiwa
bahawa pada suatu malam Rasulullah shalat di masjid dan diikuti orang-orang
shalat bersama Nabi dan pada malam berikutnya Nabi shalat lagi di Masjid yang
diikuti oleh orang-orang yang semakin banyak, tetapi Rasulullah tidak keluar
dari kediamannyameskipun banyak orang menunggu itu terjadi pada bulan Ramadhan.
Perbuatan nabi tersebut dilihat dan disaksikan oleh para sahabat yang saat itu
mengikuti shalat berjamaah bersama Nabi.
Keempat, hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan satu atau
beberapa orang saja. Diantara contoh hadis fo’li kategori ini adalah sebuah
hadis tentang cara shalat Nabi di atas kendaraan, yang berbunyi:
“Nabi shalat di
atas tungganganya, ke mana saja tunggangannya itu mengahadap”
Aktifitas
sebagaimana dikandung oleh hadis diatas dilakukan oleh rasulullah di depan
beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti Nabi dalam perjalanan, tidak
dilakukan Nabi di dean khalayak ramai seperti halnya khutbah.
3.
Hadis yang Berupa Persetujuan (Taqriri)
Tidak
semua meteri hadis secara utuh berasal dari Nabi, baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Sebagiannya adalah perkataan atau perbuatan sahabat, baik yang
dilakukan di depan Nabi atau sebelum itu yang kemudian dikonfirmasi pada Nabi.
Hadis kategori ini dalam terminologi hadis disebut dengan hadis taqriri, yaitu
hadis yang berupa ketetapan Nabi terhadap apa yang datang atau yang dilakukan
oleh para sahabatnya. Menurut ‘Abd al-wahab Khallaf dalam bukunya ‘ilm Ushul
al-Fiqh, hadis taqriri adalah penetapan Rasulullah atas sesuatu yang dilakukan
oleh sahabat baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara Rasulullah diam
(tidak menyangkal), setuju, dan menganggapnya bagus. Dalam hal ini, Nabi
membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya,
tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya.
Jadi,
materi dalam hadis kategori ini bukan dari Nabi melainkan dari para sahabat
yang kemudian disetujui oleh Nabi. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar
oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujjah dan/atau
mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan hukum. Karena pada dasarnya,
seandainya Nabi tidak menyetujui perbuatan itu, niscaya dia menolak atau
melarangnya.
Contoh
hadis taqriri adalah hadis riwayat Abu Dawud berikut: “Dua orang laki-laki
pergi melakukan perjalanan. Ketika sampai waktu shalat dan keduanya tidak
mendapatkan air, mereka bertayamum dengan debu yang bersih lalu mendirikan
shalat. Setelah itu, mereka menemukan air. Salah seorang diantaranya berwudhu
dan mengulangi shalat, sedang yang lainnya tidak mengulanginya. Keduanya datang
menghadap Rasulullah dan meneceritakan hal itu. Kepada yang tidak mengulangi
Rasulullah bersabda: Engkau telah mengerjakan menurut sunnah. Sedang
kepada yang lainnya Nabi bersabda: Engkau mendapatkan pahala dua kali.
Pada
hadis lain yang berupa persetujuan disebutkan bahwa Rasulullah membiarkan para
sahabat memkaan daging Biawak, akan tetapi Nabi sendiri tidak memakan daging tersebut
dan tidak mengharamkannya. Meskipun Nabi tidak makan daging biawak tidak
menunjukan bahwa daging itu haram, ssebab ia memebiarkan sahabat makan daging
itu tanpa menegur mereka. Pada kesempatan lain Rasululah menyetujui kebujakan
yang diambil Muadz ketika menjadi hakim di Yaman. Sikap Rasulullah terhadap
jawaban Mu’adz ibn Jabal atas pertanyaan yang disampaikan kepadanya ketika akan
diutus untuk menangani masalah peradilan di Yaman yang meneuturkan bahwa ia
akan menyelesaikan perkara dengan Al-Qur’an, hadis dan ijtihadnya. Juga
merupakan salah satu contoh hadis taqriri. Dalam hal ini, pernyataan Nabi yang
menyatakan pujian bagi Allah karena memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah
(Mu’adz) sebagaiman dikehendaki-Nya menunjukan persetujuan Nabi terhadap
tindakan Mu’adz itu.
4.
Hadis yang Berupa Cita-cita (Hammi)
Sebagaimana
manusia pada umumnya, Nabi mempunyai cita-cita. Sebagian cita-cita itu tercapai
dan sebagiannya tidak. Hadis yang berisi tentang cita-cita Nabi disebut dengan
hadis Hammi, yaitu hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum
terealisasikan. Hadis kategori ini tidak disebutkan dalam dalam beberapa
definisi hadis baik oleh ulama hadis, ulama ushul maupun ulama fiqih.
Secara
realitas, hadis hammi belum terwujud tetapi masih dalam ide dan keinginan yang
pada pelaksanaannya akan dilakukan pada masa sesudahnya. Karena itu, pada
hakikatnya, hadis kategori ini bukan perbuatan, perkataan, persetujuan atau
sifat-sifat Nabi. Tetapi, perbuatan yang akan dilakukan oleh Nabi pada masa-masa
berikutnya dan belum terwujud ketika Nabi menginginkannya, seperti halnya
hasrat berpuasa tanggal 9 ‘Asyura. Dalam sebuah hadis dari Ibn Abbas dinyataka
bahwa ketika Nabi berpuasa pada hari ‘Asyura tanggal 10 dan memerintahkan para
sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Nabi, hari ini adalah hari yang
diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Nabi bersabda:
بِصِيَامِهِ قَالُوْ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ تُعَظِّمُهُ
الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِع
Artinya “Ketika Nabi saw.
Berpasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka
berkata, Ya, Nabi! Hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi
dan Nasrani. Lalu Nabi saw. Bersabda, Tahun yang akan datang insyaallah akan
berpuasa pada hari yang ke sembilan (HR. Muslim)
Sikap
Nabi demikian untuk menghindari waktu yang bersamaan dengan puasa orang yahudi
dan Nasrani. Pada saat hadis di atas disabdakan, Nabi berpuasa pada tanggal 10
dan setelah para sahabat memberi tahu bahwa saat itu adalah saat puasa bagi
pemeluk dua agama di atas. Nabi kemudian bercita-cita untuk berpuasa pada
tanggal 9 ‘Asyura. Hasrat dan cita-cita itu belum sempat terealisasi
karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘Asyura tahun berikutnya.
Dengan
demikian, dilihat dari esensinya, hadis yang berupa cita-cita belum terwujud
tetapi masih pada tataran keinginan yang belum dilaksanakan. Hadis kategori ini
relatif sedikit dibanding dengan kategori hadis-hadis lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar