Sabtu, 01 Oktober 2016

pikpok

  1. Pikiran pokok

  1. Fenomenologi
Sebagai seorang pendiri aliran Fenomenologi, Husserl telah memperbaharui filsafat abad kita secara mendalam. Sekarang ini fenomenologi dikenal lebih umum dan terpopuler pada tahun 50-an. Orang yang merasa tertarik dengan deskripsi fenomenologi konkrit seperti diberikan fenomenolog kemudian hari, khususnya diprancis seperti J.-P.Sartre, M. Merleau-Ponty, P.ricocur, dan seorang psikolog belanda F. Buytenjik akan merasa kecewa bila ia menghadapi karya-karya fenomenologi sendiri.1 Husserl memang memaksudkan fenomenologi sebagai suatu disiplin filosofis yang akan melukiskan segala bidang pengalaman manusia, ytetapi ia sendiri memusatkan perhatian dan tenaganya pada pendasaran disiplin baru ini.
Menurut Husserl, “prinsip segala prinsip” ialah bahwa intuisi langsung(dengan tidak menggunakan perantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriterium terakhir di bidang filsafat.2 Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat, lantyaran hanya dengan kesadaran secara langsung diberikan kepada saya selaku subyek, seperti akan kita lihat lagi. Filsafatnya mengalami perkembangan terus menerus sampai akhir hidupnya dan ia pernah mengatakan bahwa ia adalah einewige Anfanger, seorang pemula abadi. Jika ia terbentur pada kesulitan baru, ia tidak membuang pemikiran sebelumnya, tetapi seluruh permasalahannya diselidiki kembali pada taraf yang lebih mendalam. Husserl bercita –cita mendasari ilmu filsafast dengan dasar yang rigorus( rigorus science) dan kepala ilmu itu adalah fenomenologi.

Berdasarkan artikel artikel tersebut maka Husserl merumuskan bahwa Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang nampak. Jdi, seperti sudah tersirat didalam namanya, fenomenologi mepelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomen. Tetapi dengan itu dimaksudkan Husserl sesuatu yang ada pada waktu itu sama sekali baru.2 Menurut Kant kita manusia hanya mengenal fenomenon dan bukan numenon, kita hanya mengenal fenomen-fenomen (Erscheinungen) dan bukan realitas itu sendiri (das Dingan sich). Bagi Kant yang tampak bagi kita adalah semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Yang dimasudkan Husserl dengan fenomen adalah sesuatu yang sama sekali lain. Bagi Husserl, fenomen ialah realitas sendiri yang nampak. Baginya tidak ada tirai/selubung yang memisahkan kita dari realitas; realitas itu sendiri tampak bagi kita. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dandan esensi ideal dari obyek-obyek kesadaran. Setelah tahun 1908 fenomenologi Husserl menjadi “Fenomenologi TRasensental”. Dia berpendaoat disini bahwakesadaran bukan bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Fenomenologi sangat orisinil, pola filsafat yang tidak lagi mencari lagi esensi dibalik kenampakan, melainkan berkonsentrasi penuh padapenampakan itu sendiri. Dan hampir semua disiplin keilmuan mendapat inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi,sosiologi,antropologi, sampai arsitektur, semuanya memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi. Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat dalam arus besar pemikiran kontemporer, dan masa depannya sangat bergantung pada seberapa jauh pengetahuankita untuk mendalami dan mengembangkannya.4
Istilah fenomenologi pertama kali digunakan oleh J.H Lembert (1728-1777), kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Heggel serta sejumlah filosof yang lain dan merekapun mengartikan fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Husserl menggunakan istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berfikir secara tepat.5 contohnya dalam karya heggel yang berjudul “Phenomenology of spirit”, pemaknaan heggel dalam buku ini tentang teori “fenomena” berbeda dengan teori Husserl. Menurut Heggel fenomena yang kita alami dan nampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relative terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Heggel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah. Namun ia menerima konsep formal fenomenologi Heggel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua type fenomenologi. Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang nampak, tidak ada selubung atau tirai yang menisahkan subyek dengan kenyataan, karena realitas itu sendiri yang nampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat barat. Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa dengan metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastiabn absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita. Seperti berfikir dan mengingat, dan pada sisi lain susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan diraih. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut, yakni Pertama, fenomena selalu “menunjuk keluar” atau berhubungan dengan realitas diluar fikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita. Karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum diluar substansi sesungguhnya. Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaran.9 Husserl mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang regoris (sikap fikiran dimana pertentangan pendapat boleh tidaknya seuatu tindakan atau bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat).

Menurut Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang filsafat. Hanya saja apa saja yang diberikan langsung kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari sini Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar folsafat, karena hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada kita sebagai subjek. Maka sebagai hasil dari metode fenomenologi Husserl adalah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran, karena kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa suatu yang disadari. Fakta bahwa kesadaran mengarah pada obyek-obyek yang disebut Intensionalitas. Kiranya tidak dapat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai intensionalitas karena kesadaran itu sebagai intensionalitasnya sendiri.


  1. Intensionalitas dan Konstitusi (constitution)
Salah satu hal yang muncul dari hasil fenomenologi Husserl adalah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran. Supaya ada kesadaran memang diandaikain tiga hal, yaitubahwa ada sesuatu subyek yang terbuka untuk obyek-obyek yang ada. Kesadaran menurut kodratnya itu bersifat intensionalitas; intensionalutas adalah struktur hakiki kesadaran,8 dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, maka febomen harus dimengerti sebagai apa yang menampakkan diri.3 Intensionalitas dan fenomen adalah dua hal yang korelatif, korelasi ini berlaku bagi kesdaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga dalam berbagai aktus kesadaran dan realitas seperti pengalaman estetis dan obyek estetis (karya kesenian). Isti;ah lain yang berkaitan dengan dua hal tersebut dan sering digunakan oleh Husserl adalah Konstitusi, Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstITusi diri dalam kesadaran, kata Husserl. Dan karena keterkautannya tersebut maka konstitusipun disebut sebagai aktifitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Husserl mengatakan dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Ada beberapa hal yang penting dalam Intensionalitas Huserl, yakni;
“Lewat intensioalitas terjadi obyektifikasi, artinya unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk kepada suatu obyek, terhimpun dalam suatu obyek tertentu. Lewat intensionalitas terjadilaah identifkasi, bahwa berbagai data yang tampil pada peristiwa bisa dihimpun pada obyek sebagai hasil obyektifikasi. Intensionalitas juga saling menghubungkan segi-segi suatu obyek dengan segi-segi yang mendampinginya. Dan Intensionalitas mengadakan juga konstitusi. Konstitusi merupakan proses munculnya proses-proses kepada kesadaran.”
Dalam melihat hakikat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat dilakukan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana ntuk mengetahui sesuatu seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori /pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.




4. Kritik Heiddeger terhadap Fenomenologi Hussserl
Pada dasarnya Fenomenologi Husserl bercorak idealistic. Seruannya untuk kembali kepada sumber yang semula terdapat pada objek kemudian diarahkan pada sumber yang lain yakni subyek. “kembali kepada sumber pada akhirnya sama dengan kembali kepada subyek atau kesadaran. Melalui reduksi trasendental Husserl terus bergelut dengan masakah esensi dan aktiitas kesadaran.
Apa yang telah dilakukan sebenarnya sah-sah saja, kesadaran adalah masalah yang mendasar dan penting dipahami. Pemahaman tentang esensi kesadaran bisa dijadikan sebagai alternative solusi untuk menghadapi krisis ilmu pengetahuan, misaknya dengan menjadikan pemahaman esensi dan aktivitas manusiasebagaiu landasan untuk dibangunkanya teori ilmiah tentang manusia.

Heiddeger yang menyadari masalah iu tidak mau mengikuti anjuran Husserl untuk kembali kepada subjek. Kembali kepada subjek sambil melupakan objek,demikian Heiddeger berarti mengulang kesulitan yang sama seperti dihadapi oleh idealism. Dalam dunia idealism subjek ditempatkan sebagai sentral atau pusatnya dunia menjadi asal usul terciptanya dunia. Namun bagaikana dunianya menciptakan subjek luput dari perhatian idealisme. Yang menarik adalah sebuah realitas yang lain, realitas yang bukan murni objek dan bukan pula murni subjek melainkan sintesis dari subjek dan objek. Sintesis ini berupa dinia-manusia yang oleh Heiddeger disebut ada dalam dunia.(merupakan realitas asli manusia). Jalan yang harus ditempuh adalah memaha,mi realitas dunia manusia sendiri, tempat manusia menciptakan diri dan dunianya serta diciptakan oleh diri dan dunianya itu. Krisis ilmu pengetahuan sepertI yang diisukan Husserl sebetulnya lebih bisa dicari sumber dan alternative solusinya didalam realitas ada-dalam-dunia. 4




Penutup




Dari pemaparan di atas dapat kami simpulkan bahwa ciri khas pemikiran Fenomenologi Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).

Alhamdulillahirobbil`aalamin akhirnya tugas makalah inipun dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Dan kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini. Bagaimana pun juga kami sangat sadar bahwa karya ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritikan dan masukan agar kedepan dapat menjadi lebih baik lagi. Dan semoga apa yang kami berikan dapat menjadi manfaat bagi kami sendiri dan para pembaca.
Terima Kasih.,,,.





















Daftar Pustaka





Bertens, K,. Filsafat barat abad XX: inggris jerman , Jakarta : Gramedia, 1981
Abiding, Zaenal.filsafat manusia, Bandung: PT REmaja Resda Karya
Ibid .hal 111
http://www.slideshare.net/mazizaacrizal/fenomenologi-3572675

http://indonesiakomplit.wordpress.com/2011/01/28/fenomenologi-edmund-husserl/

1 Perlu diperhatikan, apa yang disajikan sebagai “metode fenomenologi” kerap kali hampir tidak berkaitan lagi dengan fenomenologi menurut konsepsi Husserl. Kalau begitu kata “fenomenologis” dipakai dalam arti luas, sehingga kiranya sinonim dengan “deskriptif”.
2 W.R Boyce Gibson, London 1967, hal 84. (“Melihat” secara langsung, bukan saja melihat dalam arti pengalaman indrawi, tetapi melihat pada umumnya sebagai kesadaran yang memberikan apa saja secara asli adalah sumber pembenaran yang terakhir bagi semua pernyataan rasional.
2 DR.K. Bertens Filsafat Barat abad XX
4 Edmund Husserl
5http;//ruangmerindukandiadandia.wordpres.com/2010/02/14/fenomenologi-edmund-husserl
3 DR. K Bertens Filsafat barat abad XX
8 Istilah “Intensionalitas” oleh Husserl diambil alih dari Brentano, tetapi Brentano memiliki maksud lain dengan istilah ini, sehingga ajaran intensionalitas boleh dianggap sebagai penemuanyang khas Husserlian. Bandingkan: H. spiegelbregh, The phenomenological movement, The Hague, 1965, jilid I, hal 107-108.
9 Belnard Delfgaauw, filsafat abad 20, alih bahasa Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana 1988)

4 Zaenal Abidin, Filsafat Manusia:   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar