Jam’iyyah nahdlatul ulama’ (penggagas pertama forum bahtsul masail di indonesia), adalah gerakan diniyyah islamiyyah dan ijtima’iyyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan aqidah ahli sunnah wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sebagai pegangan dalam berfiqih.
Dengan mengikuti
empat madzhab ini, menunjukkan elastisitas
dan fleksibilitas
sekaligus
memungkinkan bagi NU untuk berpindah madzhab secara total atau dalam
beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (Hajat),
misalnya : saat menunaikan ibadah haji, meskipun untuk keseharian
ulama’ dan warga NU menggunakan fiqh masyarakat Indonesia yang
bersumber dari madzhab syafi’i.
Hampir dapat
dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan
oleh ulama’ NU dan kalangan pondok pesantren selalu bersumber dari
madzhab syafi’I. hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu –
untuk tidak melawan budaya konvensional – berpaling ke madzhab
lain.
Sikap ini secara
konsekwen ditindak dengan upaya pengambilan hukum dari referensi
(maraji’) berupa kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara
sistematik dalam beberapa komponen ibadah,
mu’amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla’
(pidana/peradilan)
Dalam hal ini para
ulama’ NU dan forum bahtsul masa’il mengarahkan orientasinya
dalam pengambilan hukum kepada Al-Aqwal
Al-Mujtahidien
(pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntasib. Dan bila
kebetulan ditemukan Qaul
Manshus
(pendapat yang ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau
tidak ditemukan, maka akan beralih ke Qaul
Mukharraj
(pendapat hasil takhrij). Dan bila terjadi khilaf (perbedaan
pendapat), maka yang diambil adalah yang paling kuat sesuai dengan
tarjih oleh para ahlinya. Mereka juga sering mengambil keputusan Al
Ittifaq Fi Al Ikhtilaf
(sepakat dalam khilaf), akan tetapi juga mengambil sikap untuk
menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan ‘hajat
tahsiniyyah’ (kebutuhan
sekunder) maupun ‘hajat
dlaruriyyah’
(kebutuhan primer).
Fiqih
harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis
kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dlaruriyyah
(primer), kebutuhan haajiyyah
(sekunder), dan kebutuhan tahsiniyyah
(tersier). Fiqh social bukan sekedar sebagai alat untuk melihat
setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang
fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh social juga menjadikan fiqh
sebagai paradigm pemaknaan social.
NU mempunyai sebuah
forum yang di sebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM) yang dikoordinasi
oleh syuriah
(legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum
hukum islam, baik yang berkaitan dengan masalah fiqhiyyah
(waqi’iyyah
dan maudlu’iyyah)
maupun masalah masalah ketauhidan (ushuluddin)
dan bahkan masalah masalah tashawwuf
(akhlaq).
Forum ini biasanya
di ikuti oleh syuriyyah dan ulama’-ulama’ NU yang berada diluar
struktur organisasi, termasuk para pengasuh pondok pesantren.
Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi’iyyah)
yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada syuriyyah
oleh organisasi maupun perorangan.
Masalah-masalah ini
setelah di inventarisir oleh syuriyyah
lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam
pembahasannya terjadi “mauquf”
(macet), maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan
ketingkat organisasi yang lebih tinggi.
Bagi NU, bahtsul
masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum yang sarat dengan
muatan kitab kitab klasik, tetapi merupakan lembaga dibawah NU yang
menjadi “kawah
candra dimuka”
yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum
nahdliyyin. Karena dengan bahtsul masa’il, fatwa-fatwa hukum yang
dihasilkan akan tersosialisasikan minimal ketingkat ranting dan
pelosok desa (Sebuah
harapan
!)untuk pedoman mereka dan penguatan amaliyyah nahdliyyah . yang
dipersoalkan lagi, Padahal tinggal forum bahtsul masa’il inilah
yang masih banyak memberikan harapan untuk menjawab masalah di atas.
Bahkan bagi masyarakat NU yang awwam, keputusan bahtsul masa'il yang
berhasil dibukukan ini sangat penting digunakan sebagai rujukan dalam
praktek kehidupan beragama (amaliyyah
nahdliyyah)
sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar