Senin, 26 September 2016

RebowekasanQta

ebo Wekasan, Ekonomi Kerakyatan Berbalut Budaya di Kabupaten Tegal

Tegal, tak hanya dikenal karena dialek bahasa Jawa, pantai dan kulinernya, tetapi kota dengan julukan Tegal Laka-Laka ini juga dikenal karena budayanya yang unik. Salah satunya yaitu tradisi budaya yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Tegal. Masyarakat Tegal menyebut tradisi itu dengan “Rebo Wekasan”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “Rebo Wekasan” ini? Bagaimana sejarah dari “Rebo Wekasan” itu? Serta apa yang unik dari tradisi ini?
            Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar (dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu melakukan upaya pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.
Setiap daerah memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini, akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka,  baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut. Tradisi yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke tetangga mereka. Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala petaka akan datang menimpa mereka.
            Selain tradisi mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda.
            Desa Suradadi, kecamatan Suradadi, kabupaten Tegal, terletak di jalur antara Tegal dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal. Di desa ini, tradisi dalam memperingati Rebo Wekasan dilaksanakan cukup unik. Masyarakat Suradadi pada khususnya, melaksanakan Haul pada saat Rebo Wekasan. Haul diadakan sebagai suatu momentum untuk mengenang kembali para ulama yang telah berjasa dalam menyebarkan agam Islam di daerah tersebut. Banyak pula yang mengatakan terutama di kalangan ulama, budaya Rebo Wekasan di desa Suradadi yang dilaksanakan dalam bentuk Haul adalah sebuah upaya dari para ulama setempat untuk menjadikan Rebo Wekasan lebih bermakna dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Para ulama di desa Suradadi sangat prihatin dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam momentum Rebo Wekasan ini. Masyarakat banyak yang menyimpang dari agama berkenaan dengan peringatan Rebo Wekasan. Sehingga para ulama ber-ijtihad untuk mengubah itu, yaitu dengan diadakannya Haul.
            Haul di desa Suradadi dalam rangka Rebo Wekasan, telah dilaksanakan sejak tahun 1961, tepatnya pada tanggal 13 Agustus (27 Safar 1381 H). Biasanya dilaksanakan di pemakaman umum desa, tepatnya di sebelah selatan Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi. Pada saat Haul, masyarakat Suradadi dan sekitarnya akan berkumpul di pemakaman tersebut dan membacakan doa-doa untuk para ulama yang telah meninggal dunia yang tentunya ulama-ulama itu adalah tokoh-tokoh yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam. Setiap tahun, scara Haul tersebut selalu dipenuhi para pengunjung yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 20.000 pengunjung. Adapun yang mengikuti acara tersebut tidak hanya masyakarat Suradadi, tetapi juga oleh masyarakat kabupaten dan kota Tegal yang lain, bahkan banyak pula pengunjung yang berasal dari Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga, dan Purwokerto. Sehingga tak heran, pada saat pelaksanaanya, jalur Pantura tepatnya di jalan Pasar Suradadi, jalan akan sangat macet, yang disebabkan membludaknya pengunjung yang mengikuti Haul tersebut. Sehingga tidak bisa dipungikiri bahwa tradisi Haul tersebut merupakan media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan tentunya memobilisasi perekonamian umat di Suradadi.
            Selain Haul, hal yang unik dalam peringatan Rebo Wekasan di Suradadi adalah adanya pasar dadakan yang ada sebelum, selama dan setelah Rebo Wekasan. Biasanya pasar ini ada setengah atau satu bulan sebelum hari H. Karena adanya pasar ini juga, keadaan di desa Suradadi menjadi sangat ramai yang disebabkan oleh banyaknya para pedagang serta para pengunjung yang mendatangi pasar dadakan tersebut. Sehingga pasar tersebut seakan menjadi arena bazar gratis bagi masyarakat. Barang yang dijual dalam pasar tersebut berupa segala jenis makanan, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, tas, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Sehingga pasar ini seakan tidak bedanya dari  pasar malam yang mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Karena terdapat sebuah kepercayaan bahwa setelah berdagang pada acara Rebo Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya. Ini menjadi sebuah tradisi budaya yang selalu ditunggu oleh masyarakat Suradadi, karena dapat dilihat dari betapa eksisnya tradisi ini hingga saat ini.
            Berbeda di Suradadi, berbeda pula peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Lebaksiu adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tegal, yang terletak di jalur Tegal-Guci. Konon, berdasarkan cerita yang telah menyebar di masyarakat Lebaksiu bahwa peringatan Rebo Wekasan ini adalah untuk mengenang jejak Mbah Panggung, tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Akan tetapi, tidak ada sumber yang menyebutkan dengan jelas tentang sejarah dari peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Sehingga cerita Mbah Panggun-lah yang dianggap paling benar.  Makam Mbah Panggung berada di puncak Bukit Sitanjung, dimana bukit ini terletak diantara dataran-dataran tinggi yang ada di Lebaksiu. Oleh karena itu, pusat acara Rebo Wekasan di Lebaksiu berada disekitar bukit tersebut, bahkan mencapai pinggir-pinggir jalan raya.
            Jika di Suradadi Rebo Wekasan ini lebih dominan dengan acara agama dalam hal ini Haul, Rebo Wekasan di Lebaksiu didominasi dengan kegiatan jual-beli para pedagang yang hanya ada selama Rebo Wekasan. Biasanya para pedagang ini sudah membuka lapaknya setengah bulan sebelum hari H, sampai seminggu setelah hari H. Lapak yang ada pun bisa mencapai kiloan meter dari Bukit Sitanjung. Mulai dari makanan, baju, sepatu, tas, mainan anak-anak, aksesoris, lengkap ada di situ. Tidak hanya pedagangnya yang jumlahnya tak terhitung, pengunjung yang datang pun jumlahnya membludak. Ribuan orang datang hanya sekedar untuk berkeliling untuk melihat-lihat dagangan, atau jalan-jalan menaiki bukit untuk menikmati pemandangan Bukit Sitanjung. Meskipun ada juga yang sengaja datang untuk berziarah ke makam Mbah Panggung.
            Di masyarakat Lebaksiu, ada sebuah mitos tentang Rebo Wekasan. Setiap tahun, tepatnya ketika Rebo Wekasan, pasti akan ada pengunjung yang meninggal, karena dijadikan tumbal. Terlepas benar apa tidak, tetapi memang ketika Rebo Wekasan, ada saja pengunjung yang meninggal. Ada yang hanyut di sungai, ada yang terjatuh, ada yang hilang, dan lain-lain.
            Meskipun begitu, Rebo Wekasan tetap menjadi sebuah event yang ditunggu oleh masyarakat Lebaksiu. Daya tarik utama dari peringatan Rebo Wekasan ini adalah para pedagang yang datang dari berbagai kota yang membuka lapaknya di sekitar Bukit Sitanjung. Sehingga dapat dilihat, betapa cepatnya mobilasasi ekonomi masyarakat Lebaksiu pada saat peringatan Rebo Wekasan.
            Itu adalah salah satu tradisi yang ada di kabupaten Tegal yang berkenaan dengan Rebo Wekasan. Melihat antusiasme para pengunjung, masyarakat Tegal seakan selalu menanti event ini. Bagaimana? Apakah Anda merasa penasaran? Silahkan datang ke Tegal setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Dan Anda akan merasakan betapa uniknya tradisi ini.



Kamis, 05 Januari 2012
kebudaayaan Khas Tegal ( mantu Poci )

KEBUDAYAAN KHAS TEGAL  MANTU POCI DAN BALO BALO


Poci khas Tegal yang biasanya dijadikan penganten dalam acara Mantu Poci.


Gambar para pemain music Balo-balo sedang memainkan alat musicnya dalam mengiringi acara Mantu Poci.
MOCI atau minum the dengan poci tanah merupakan ritme dari kehidupan masyarakat tegal dan sekitarnya. Bahkan dari kebiasaan itu muncul kebudayaan unik, yaitu Mantu Poci merupakan tradisi masyarakat kota Tegal yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Acara intinya melangsungkan “pesta perkawinan” antara sepasang poci tanah.
Balo-Balo mantu poci adalah sebuah pertunjukan seni rakyat Kota Tegal, yang memadukan antara unsure bunyi seni rakyat balo-balo dan unsure cerita mantu poci. Layaknya sebuah perhelatan mantenan, dan diselingi hiburan tari dan lagu-lagu tegalan.Awalnya tradisi tersebut digelar untuk mempererat tali silaturahmi antar tetangga,khususnya bagi mereka yang tidak memiliki keturunanan dan berkeinginan untuk mengadakan syukuran seperti sunat atau nikahan. Meski tidak ada yang mengetahui sejak kapan tradisi tersebut mulai muncul ,masyarakat tegal meyakini bahwa tradisi tersebut adalah tradisi asli kota bahari tersebut. Di kota yang masih mempertahankan tradisi tersebut yaitu di daerah pinggiran,,seperti Kelurahan Tegalsari,Muarareja,Tunon,cabawan,dan Margadana. Biasanya mantu ini dilaksanakan setelah lebaran atau di bulan sawal.
Selain mantu poci,warga Tegal juga mengenal sunatan poci. Secara umum, pelaksanaan mantu poci dan sunatan poci hampir sama.adapun yang membedakannya,untuk sunatan poci yang punya hajat biasanya menghiasi ujung poci dibalut dengan kain atau kapas. Poci yang telah dihias diarak keliling rumah sebanyak tujuh kali dan didoakan selayaknya hajatan menyunatkan anaknya sendiri. Setelah itu poci diletakan di kursi yang telah dihias lengkap makanan seperti kebutuhan anak yang disunat.
Sementara orang tua yang punya hajat duduk berdampingan mengapit poci untuk menerima ucapan selamat dan menerima sumbangan dari undangan yang hadir. Untuk mantu poci yang punya hajat menyediakan dua poci dan dihias seperti wanita dan pria. Poci pria diberi topi, dan poci wanita diberi hiasan melati dan janur sebagai lambang wanita. Kedua poci tersebut diarak keliling dan di tempatkan di kursi yang telah dihias. Selain sebagai harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak saudara, dan relasi.
Tradisi mantu poci memadukan antara unsur bunyi/musik seni rakyat balo-balo dan unsur cerita mantu poci. Perpaduan musik rebana, kendang, gending slendro, bass, serta gitar terdengar mengalun rancak mengiringi syair puja, puji, kritik, serta guyon wangsalan khas Tegal dalam kesenian ’Balo-Balo’ yang merupakan kesenian khas Kota Tegal, Jawa Tengah.Tawa riang dan riuh tepuk tangan penonton sesekali pecah di tengah alunan musik gending-gending tegalan yang dinamis, ditambah tabuhan kendang Jawa dan petikan bass mengiringi lantunan syair para pemain membuat pertunjukan kesenian Balo-Balo semakin meriah.
Balo-Balo berasal dari kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang pada awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana syiar atau dakwah menyebarkan agama Islam, kemudian pada perkembangnya dijadikan masyarakat, khususnya Tegal, untuk mengelabuhi para penjajah. Lengkap dengan kostum adat Tegal, semua peserta baik penabuh rebana maupun pelantun syair berada pada satu panggung, sementara para penabuh musik duduk sambil sibuk memainkan alat musik, sedangkan peserta lainnya bergantian mendendangkan lagu islami serta melantunkan syair-syair bijak penuh makna.










                                          POSTMODERNISME
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernism. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi  Lyotard dan Geldner,modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme Bagi Derrida, Foucault dan  Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori . Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens,  itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.



MANTU POCI DAN BALO-BALO ( POSTMODERNISME)

Perkembangan postmodernisme sering berkaitan dengan wacana-wacana budaya (cultural studies) yang mulai mengarah pada entitas perilaku, termasuk dalam relasi hegemoni.
Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupundiruangpublik.
Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.
Kebudayaan khas Tegal ini dapat dikaji secara postmodernisme, karena acara adat Mantu Poci atau sunat poci dahulunya dilaksanakan dengan tujuan apabila suami istri yang tidak mempunyai keturunan, tetapi berniat untuk menggelar pesta hajatan, dan untuk ritual sebagai jalan untuk agar dapat segera mendapatkan keturunan. Namun dengan berjalannya perkembangan zaman yang maju pesat, kebiasaan itu telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Pada saat ini Mantu Poci atau Sunat Poci dilaksanakan dengan tujuan hanya sebagai pertunjukan kesenian khas pesisir Kota Tegal.
Begitu juga dengan  kesenian Balo-balo,yaitu Kesenian music tradisional khas Tegal yang biasanya mengiringi acara Mantu Poci. Balo-Balo berasal dari kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang pada awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana syiar atau dakwah menyebarkan agama Islam, namun kemudian pada perkembangnya menjadi berbeda tujuannyadan kesenian ini  dijadikan masyarakat, khususnya Tegal, untuk mengelabuhi para penjajah.Saat para pejuang tengah berkumpul untuk menyusun strategi melawan penjajah, warga lainnya sibuk berkerumun sambil menabuh rebana dan asyik berdendang, sehingga para penjajah tidak curiga dan menganggap warga sedang bersenang-senang menggelar hiburan. Balo-Balo bertujuan menjalin komunikasi antarwarga yang lebih baik. Dari syair dan lakon yang dipentaskan, masyarakat dapat memperoleh pelajaran penting, baik tentang lingkungan sekitar, keamanan, maupun budi pekerti. Lantunan syair yang dituturkan para lakon menggunakan dialek Tegal ’deles’ (asli/murni), tanpa ada unsur bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya, sehingga kerap membuat para penonton terkesima.
Pada zaman yang sudah maju pesat seperti pada saat ini kesenian balo-balo tidak lagi dijadikan sebagai sarana menyebarkan agama Islam, ataupun sebagai cara untuk mengelabuhi penjajah, namun kesenian Balo-balo di Tegal dilaksanakan sebagai ajang hiburan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas.

 Seperti teori yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna. Mantu Poci dan Balo-balo bebas berekspresi sesuai dengan tujuan dan pemikiran para seniman-seniman itu sendiri, namun kesenian ini masih dalam kesenian yang baik untuk dikonsumsi dan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar