ebo
Wekasan, Ekonomi Kerakyatan Berbalut Budaya di Kabupaten Tegal
Tegal, tak hanya
dikenal karena dialek bahasa Jawa, pantai dan kulinernya, tetapi kota
dengan julukan Tegal Laka-Laka ini juga dikenal karena budayanya yang
unik. Salah satunya yaitu tradisi budaya yang berkaitan dengan
penyebaran agama Islam di Tegal. Masyarakat Tegal menyebut tradisi
itu dengan “Rebo Wekasan”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan
“Rebo Wekasan” ini? Bagaimana sejarah dari “Rebo Wekasan”
itu? Serta apa yang unik dari tradisi ini?
Rebo Wekasan atau
Rebo Pungkasan adalah hari Rabu di minggu terakhir di bulan Safar
(dalam bahasa Jawa: Sapar). Masyarakat Jawa percaya bahwa bencana dan
mala petaka banyak terjadi pada hari itu. Sehingga mereka perlu
melakukan upaya pencegahan agar bencana dan mala petaka ini tidak
terjadi pada mereka. Maka pada hari itu masyarakat banyak yang
melaksanakan shalat Rebo Wekasan, mandi di sungai, mengunjungi sanak
saudara, bahkan membuat serangkaian acara selama seharian yang
kemudian ditutup dengan pertunjukkan wayang, dan lain sebagainya.
Setiap daerah
memiliki cara dan keunikan masing-masing dalam pada saat Rebo Wekasan
ini. Tak terkecuali di Tegal, acara ini pun menjadi sebuah tradisi
yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini. Masyarakat Tegal banyak
yang mempercayai kalau pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar ini,
akan banyak bencana dan mala petaka. Sehingga banyak dari mereka,
baik itu anak-anak sampai orang dewasa melakukan berbagai upaya untuk
terhindar dari bencana dan mala petaka tersebut. Tradisi yang sampai
saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Tegal dalam menghadapi
Rebo Wekasan, yaitu tradisi mencukur beberapa helai rambut dan
tradisi membuat bubur merah dan putih, yang kemudian dibagikan ke
tetangga mereka. Tak ada bukti tertulis mengenai tradisi ini. Kapan
tradisi mulai dilaksanakan dan siapa yang memulainya belum ada yang
mengetahui. Akan tetapi, tradisi ini seakan sudah menjalar dalam
masyarakat dan seakan jika tidak dilaksanakan, bencana dan mala
petaka akan datang menimpa mereka.
Selain tradisi
mencukur rambut dan juga membuat bubur, ada juga tradisi unik lain
yang dilaksanakan di Tegal selama Rebo Wekasan. Tradisi itu
dilaksanakan di dua kecamatan di Tegal, yaitu di Suradadi dan
Lebaksiu. Meskipun pada dasarnya sama, yaitu untuk memperingati Rebo
Wekasan, tetapi kegiatan yang dilaksanakan berbeda.
Desa Suradadi,
kecamatan Suradadi, kabupaten Tegal, terletak di jalur antara Tegal
dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal. Di desa ini,
tradisi dalam memperingati Rebo Wekasan dilaksanakan cukup unik.
Masyarakat Suradadi pada khususnya, melaksanakan Haul pada saat Rebo
Wekasan. Haul diadakan sebagai suatu momentum untuk mengenang kembali
para ulama yang telah berjasa dalam menyebarkan agam Islam di daerah
tersebut. Banyak pula yang mengatakan terutama di kalangan ulama,
budaya Rebo Wekasan di desa Suradadi yang dilaksanakan dalam bentuk
Haul adalah sebuah upaya dari para ulama setempat untuk menjadikan
Rebo Wekasan lebih bermakna dan memiliki nilai yang lebih bermanfaat
bagi masyarakat. Para ulama di desa Suradadi sangat prihatin dengan
apa yang dilakukan oleh masyarakat dalam momentum Rebo Wekasan ini.
Masyarakat banyak yang menyimpang dari agama berkenaan dengan
peringatan Rebo Wekasan. Sehingga para ulama ber-ijtihad untuk
mengubah itu, yaitu dengan diadakannya Haul.
Haul di desa
Suradadi dalam rangka Rebo Wekasan, telah dilaksanakan sejak tahun
1961, tepatnya pada tanggal 13 Agustus (27 Safar 1381 H). Biasanya
dilaksanakan di pemakaman umum desa, tepatnya di sebelah selatan
Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi. Pada saat
Haul, masyarakat Suradadi dan sekitarnya akan berkumpul di pemakaman
tersebut dan membacakan doa-doa untuk para ulama yang telah meninggal
dunia yang tentunya ulama-ulama itu adalah tokoh-tokoh yang telah
berjasa dalam penyebaran agama Islam. Setiap tahun, scara Haul
tersebut selalu dipenuhi para pengunjung yang jumlahnya bisa mencapai
lebih dari 20.000 pengunjung. Adapun yang mengikuti acara tersebut
tidak hanya masyakarat Suradadi, tetapi juga oleh masyarakat
kabupaten dan kota Tegal yang lain, bahkan banyak pula pengunjung
yang berasal dari Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga,
dan Purwokerto. Sehingga tak heran, pada saat pelaksanaanya, jalur
Pantura tepatnya di jalan Pasar Suradadi, jalan akan sangat macet,
yang disebabkan membludaknya pengunjung yang mengikuti Haul tersebut.
Sehingga tidak bisa dipungikiri bahwa tradisi Haul tersebut merupakan
media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan tentunya
memobilisasi perekonamian umat di Suradadi.
Selain Haul, hal
yang unik dalam peringatan Rebo Wekasan di Suradadi adalah adanya
pasar dadakan yang ada sebelum, selama dan setelah Rebo Wekasan.
Biasanya pasar ini ada setengah atau satu bulan sebelum hari H.
Karena adanya pasar ini juga, keadaan di desa Suradadi menjadi sangat
ramai yang disebabkan oleh banyaknya para pedagang serta para
pengunjung yang mendatangi pasar dadakan tersebut. Sehingga pasar
tersebut seakan menjadi arena bazar gratis bagi masyarakat. Barang
yang dijual dalam pasar tersebut berupa segala jenis makanan, mainan
anak-anak, pakaian, sepatu, tas, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Sehingga pasar ini seakan tidak bedanya dari pasar malam yang
mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Karena
terdapat sebuah kepercayaan bahwa setelah berdagang pada acara Rebo
Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya.
Ini menjadi sebuah tradisi budaya yang selalu ditunggu oleh
masyarakat Suradadi, karena dapat dilihat dari betapa eksisnya
tradisi ini hingga saat ini.
Berbeda di Suradadi,
berbeda pula peringatan Rebo Wekasan di Lebaksiu. Lebaksiu adalah
salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Tegal, yang terletak di
jalur Tegal-Guci. Konon, berdasarkan cerita yang telah menyebar di
masyarakat Lebaksiu bahwa peringatan Rebo Wekasan ini adalah untuk
mengenang jejak Mbah Panggung, tokoh yang berjasa dalam penyebaran
agama Islam di wilayah tersebut. Akan tetapi, tidak ada sumber yang
menyebutkan dengan jelas tentang sejarah dari peringatan Rebo Wekasan
di Lebaksiu. Sehingga cerita Mbah Panggun-lah yang dianggap paling
benar. Makam Mbah Panggung berada di puncak Bukit Sitanjung,
dimana bukit ini terletak diantara dataran-dataran tinggi yang ada di
Lebaksiu. Oleh karena itu, pusat acara Rebo Wekasan di Lebaksiu
berada disekitar bukit tersebut, bahkan mencapai pinggir-pinggir
jalan raya.
Jika di Suradadi
Rebo Wekasan ini lebih dominan dengan acara agama dalam hal ini Haul,
Rebo Wekasan di Lebaksiu didominasi dengan kegiatan jual-beli para
pedagang yang hanya ada selama Rebo Wekasan. Biasanya para pedagang
ini sudah membuka lapaknya setengah bulan sebelum hari H, sampai
seminggu setelah hari H. Lapak yang ada pun bisa mencapai kiloan
meter dari Bukit Sitanjung. Mulai dari makanan, baju, sepatu, tas,
mainan anak-anak, aksesoris, lengkap ada di situ. Tidak hanya
pedagangnya yang jumlahnya tak terhitung, pengunjung yang datang pun
jumlahnya membludak. Ribuan orang datang hanya sekedar untuk
berkeliling untuk melihat-lihat dagangan, atau jalan-jalan menaiki
bukit untuk menikmati pemandangan Bukit Sitanjung. Meskipun ada juga
yang sengaja datang untuk berziarah ke makam Mbah Panggung.
Di masyarakat
Lebaksiu, ada sebuah mitos tentang Rebo Wekasan. Setiap tahun,
tepatnya ketika Rebo Wekasan, pasti akan ada pengunjung yang
meninggal, karena dijadikan tumbal. Terlepas benar apa tidak, tetapi
memang ketika Rebo Wekasan, ada saja pengunjung yang meninggal. Ada
yang hanyut di sungai, ada yang terjatuh, ada yang hilang, dan
lain-lain.
Meskipun begitu,
Rebo Wekasan tetap menjadi sebuah event yang ditunggu oleh masyarakat
Lebaksiu. Daya tarik utama dari peringatan Rebo Wekasan ini adalah
para pedagang yang datang dari berbagai kota yang membuka lapaknya di
sekitar Bukit Sitanjung. Sehingga dapat dilihat, betapa cepatnya
mobilasasi ekonomi masyarakat Lebaksiu pada saat peringatan Rebo
Wekasan.
Itu adalah salah
satu tradisi yang ada di kabupaten Tegal yang berkenaan dengan Rebo
Wekasan. Melihat antusiasme para pengunjung, masyarakat Tegal seakan
selalu menanti event ini. Bagaimana? Apakah Anda merasa penasaran?
Silahkan datang ke Tegal setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Dan Anda akan merasakan betapa uniknya tradisi ini.
Kamis, 05 Januari
2012
KEBUDAYAAN
KHAS TEGAL MANTU POCI DAN BALO BALO
Poci
khas Tegal yang biasanya dijadikan penganten dalam acara Mantu Poci.
Gambar
para pemain music Balo-balo sedang memainkan alat musicnya dalam
mengiringi acara Mantu Poci.
MOCI atau minum the
dengan poci tanah merupakan ritme dari kehidupan masyarakat tegal dan
sekitarnya. Bahkan dari kebiasaan itu muncul kebudayaan unik, yaitu
Mantu Poci merupakan tradisi masyarakat kota Tegal yang sudah
berlangsung secara turun-temurun. Acara intinya melangsungkan “pesta
perkawinan” antara sepasang poci tanah.
Balo-Balo mantu poci
adalah sebuah pertunjukan seni rakyat Kota Tegal, yang memadukan
antara unsure bunyi seni rakyat balo-balo dan unsure cerita mantu
poci. Layaknya sebuah perhelatan mantenan, dan diselingi hiburan tari
dan lagu-lagu tegalan.Awalnya tradisi tersebut digelar untuk
mempererat tali silaturahmi antar tetangga,khususnya bagi mereka yang
tidak memiliki keturunanan dan berkeinginan untuk mengadakan syukuran
seperti sunat atau nikahan. Meski tidak ada yang mengetahui sejak
kapan tradisi tersebut mulai muncul ,masyarakat tegal meyakini bahwa
tradisi tersebut adalah tradisi asli kota bahari tersebut. Di kota
yang masih mempertahankan tradisi tersebut yaitu di daerah
pinggiran,,seperti Kelurahan Tegalsari,Muarareja,Tunon,cabawan,dan
Margadana. Biasanya mantu ini dilaksanakan setelah lebaran atau di
bulan sawal.
Selain mantu
poci,warga Tegal juga mengenal sunatan poci. Secara umum, pelaksanaan
mantu poci dan sunatan poci hampir sama.adapun yang
membedakannya,untuk sunatan poci yang punya hajat biasanya menghiasi
ujung poci dibalut dengan kain atau kapas. Poci yang telah dihias
diarak keliling rumah sebanyak tujuh kali dan didoakan selayaknya
hajatan menyunatkan anaknya sendiri. Setelah itu poci diletakan di
kursi yang telah dihias lengkap makanan seperti kebutuhan anak yang
disunat.
Sementara orang tua
yang punya hajat duduk berdampingan mengapit poci untuk menerima
ucapan selamat dan menerima sumbangan dari undangan yang hadir. Untuk
mantu poci yang punya hajat menyediakan dua poci dan dihias seperti
wanita dan pria. Poci pria diberi topi, dan poci wanita diberi hiasan
melati dan janur sebagai lambang wanita. Kedua poci tersebut diarak
keliling dan di tempatkan di kursi yang telah dihias. Selain sebagai
harapan agar pasangan suami istri segera mendapatkan keturunan, mantu
poci juga bertujuan agar penyelenggara merasa seperti menjadi
layaknya orang tua yang telah berhasil membesarkan putra putri
mereka, kemudian dilepas dengan pesta besar dengan mengundang sanak
saudara, dan relasi.
Tradisi mantu poci
memadukan antara unsur bunyi/musik seni rakyat balo-balo dan unsur
cerita mantu poci. Perpaduan musik rebana, kendang, gending slendro,
bass, serta gitar terdengar mengalun rancak mengiringi syair puja,
puji, kritik, serta guyon wangsalan khas Tegal dalam kesenian
’Balo-Balo’ yang merupakan kesenian khas Kota Tegal, Jawa
Tengah.Tawa riang dan riuh tepuk tangan penonton sesekali pecah di
tengah alunan musik gending-gending tegalan yang dinamis, ditambah
tabuhan kendang Jawa dan petikan bass mengiringi lantunan syair para
pemain membuat pertunjukan kesenian Balo-Balo semakin meriah.
Balo-Balo berasal
dari kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang
pada awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana
syiar atau dakwah menyebarkan agama Islam, kemudian pada
perkembangnya dijadikan masyarakat, khususnya Tegal, untuk
mengelabuhi para penjajah. Lengkap dengan kostum adat Tegal, semua
peserta baik penabuh rebana maupun pelantun syair berada pada satu
panggung, sementara para penabuh musik duduk sambil sibuk memainkan
alat musik, sedangkan peserta lainnya bergantian mendendangkan lagu
islami serta melantunkan syair-syair bijak penuh makna.
POSTMODERNISME
Postmodernisme
adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan
modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori,
namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari
titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti
postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernism. Namun kelanjutan
itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner,modernisme
adalah pemutusan secara total dari modernisme Bagi Derrida, Foucault
dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya
bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori . Bagi David
Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari
moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme
yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi
Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Postmodernisme
dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk
pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada
situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi,
globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan,
deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa
serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara
singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi,
spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan
sekularisme.
Setidaknya kita
melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa
postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang
termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah
pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan
bebas sesuai pemikirannya.
Postmodernisme
menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak
pikir masing-masing dan hal itu berguna.
MANTU POCI DAN
BALO-BALO ( POSTMODERNISME)
Perkembangan
postmodernisme sering berkaitan dengan wacana-wacana budaya (cultural
studies) yang mulai mengarah pada entitas perilaku, termasuk dalam
relasi hegemoni.
Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupundiruangpublik.
Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.
Hal ini dapat dipahami,mengingat di Barat sendiri, kelahiran postmodernisme tidak lepas dari ruang sosial, yang berdemarkasi, baik dalam interaksi individu, struktur sosial kenegaraan, maupundiruangpublik.
Di Eropa sendiri, postmodernisme dianggap sebagai “the haunt of social science”, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiperrealitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi. Postmodernisme mengklaim dirinya sebagai perwujudan baru dari modernisasi. Progresivitas pembaruan yang hendak ditawarkannya merupakan antiklimaks dari budaya modernisasi.
Kebudayaan khas
Tegal ini dapat dikaji secara postmodernisme, karena acara adat Mantu
Poci atau sunat poci dahulunya dilaksanakan dengan tujuan apabila
suami istri yang tidak mempunyai keturunan, tetapi berniat untuk
menggelar pesta hajatan, dan untuk ritual sebagai jalan untuk agar
dapat segera mendapatkan keturunan. Namun dengan berjalannya
perkembangan zaman yang maju pesat, kebiasaan itu telah banyak
ditinggalkan oleh masyarakat. Pada saat ini Mantu Poci atau Sunat
Poci dilaksanakan dengan tujuan hanya sebagai pertunjukan kesenian
khas pesisir Kota Tegal.
Begitu juga dengan
kesenian Balo-balo,yaitu Kesenian music tradisional khas Tegal
yang biasanya mengiringi acara Mantu Poci. Balo-Balo berasal dari
kata ’bolo-bolo’ yang berarti kawan-kawan. Kesenian yang pada
awal kelahirannya sewaktu penjajahan Belanda sebagai sarana syiar
atau dakwah menyebarkan agama Islam, namun kemudian pada
perkembangnya menjadi berbeda tujuannyadan kesenian ini dijadikan
masyarakat, khususnya Tegal, untuk mengelabuhi para penjajah.Saat
para pejuang tengah berkumpul untuk menyusun strategi melawan
penjajah, warga lainnya sibuk berkerumun sambil menabuh rebana dan
asyik berdendang, sehingga para penjajah tidak curiga dan menganggap
warga sedang bersenang-senang menggelar hiburan. Balo-Balo bertujuan
menjalin komunikasi antarwarga yang lebih baik. Dari syair dan lakon
yang dipentaskan, masyarakat dapat memperoleh pelajaran penting, baik
tentang lingkungan sekitar, keamanan, maupun budi pekerti. Lantunan
syair yang dituturkan para lakon menggunakan dialek Tegal ’deles’
(asli/murni), tanpa ada unsur bahasa Indonesia atau bahasa daerah
lainnya, sehingga kerap membuat para penonton terkesima.
Pada zaman yang
sudah maju pesat seperti pada saat ini kesenian balo-balo tidak lagi
dijadikan sebagai sarana menyebarkan agama Islam, ataupun sebagai
cara untuk mengelabuhi penjajah, namun kesenian Balo-balo di Tegal
dilaksanakan sebagai ajang hiburan yang dapat dikonsumsi oleh
masyarakat luas.
Seperti teori
yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik
satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri
pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai,
setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.
Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori
punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna. Mantu Poci dan
Balo-balo bebas berekspresi sesuai dengan tujuan dan pemikiran para
seniman-seniman itu sendiri, namun kesenian ini masih dalam kesenian
yang baik untuk dikonsumsi dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar