PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu tentang gender telah menjadi
bahasan analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana
perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama
dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial. Bahkan,
beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan, baik di media massa
maupun buku-buku, seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas
tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan
diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi
itu terjadi hampir di semua bidang, mulai dari tingkat internasional,
negara, keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, bahkan sampai tingkatan
rumah tangga.
Gender dipersoalkan karena secara
sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, hak dan
fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung
diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi,
serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan.
Dari penyiapan pakaian pun kita sudah
dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak
laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan mobil-mobilan,
kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak
perempuan diberi mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika
menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif lebih ditekankan pada
penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan
motif baju juga ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif
bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh remaja putri.
Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang
laki-laki lazimnya harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik,
elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan harus bisa memasak,
menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak
hal-hal yang mengalami diskriminasi tersendiri.
Rumusan masalah:
- Apa pengertian dan perbedaan antara gender dan sex?
- Apa saja faktor penyebab ketidaksetaraan gender?
- Apa saja manifestasi ketidaksetaraan gender?
- Isu isu gender dalam beberapa bidang (hukum adat, perundangan, pendidikan, pekerjaan)
- Bagaimana caranya untuk menuju keadilan dan kesetaraan gender?
Tujuan:
- Memahami definisi gender, jenis kelamin ( sex ), perbedaan gender dan sex.
- Memahami ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, bentuk ketidakadilan dan kesenjangan gender dan manifestasinya.
- Mengenali, mengidentifikasi dan mengaitkan bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam relasi laki-laki dan perempuan.
PEMBAHASAN
- Pengertian dan Perbedaan Gender dan Sex
Istilah gender menurut Oakley (1972)
adalah perbedaan kebiasaan atau tingkah laku antara perempuan dan
laki-laki yang dikonstruksikan secara sosial, yang dibuat oleh
laki-laki dan perempuan itu sendiri, hal tersebut merupakan bagian
dari kebudayaan.1
Dalam konsep gender ini perbedaan
laki-laki dan perempuan itu didasarkan pada budaya yang berdasarkan
pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga
antara sekelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya itu bisa
berbeda. Contoh : Masyarakat daerah Minang dikenal dengan budaya
matrilineal, sehingga dalam hal perkawinan kebiasaan yang meminang
adalah pihak dari mempelai perempuan, demikian juga tanggung jawab
ekonomi keluarga dan pewarisan harta keluarga menggunakan garis ibu.
Sementara pada kelompok masyarakat lain pada umumnya mempunyai budaya
patrilineal sehingga terjadi kebiasaan sebaliknya yaitu pihak
laki-laki (garis ayah) lebih menentukan.2
Perbedaan dalam hal pembagian peran
dalam mayarakat tertentu juga terjadi. Misalnya dalam masyarakat Jawa
tidak pernah menjumpai perempuan bekerja sebagai buruh bangunan,
namun pada masyarakat Bali sudah sering di jumpai permpuan bekerja
pada bidang ini. Demikian juga pada pertanian di Jawa pada umumnya
mencangkul lahan dilakukan oleh laki-laki, namun pada masyarakat
tetangga di lereng Gunung Bromo (Jawa Timur) pekerjaan mencangkul
justru lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Jadi dalam gender
tersebut terdapat perbedaan antara sekelompok masyarakat yang satu
dengan yang lainnya, dan sangat mungkin terjadi perubahan bila
nilai-nilai dan norma yang di anut masyarakat berkembang atau
berubah.3
Sex secara etimologi adalah jenis
kelamin. Sedangkan menurut istilah sex adalah berkenaan dengan
perbedaan secara biologis dan fisiologis antara pria dan wanita yang
dilihat secara anatomis dan reproduksi.4
Dalam hal ini sex dapat dikatakan bahwasannya sudah merupakan kudrat
dari Tuhan, sehingga tidah dapat dipertukarkan dengan apapun.
Misalnya dalam hal reproduksi, perempuan memiliki organ reproduksi
berupa ovum, sel telur,vagina dan payudara. Laki-laki memiliki organ
reproduksi berupa testis, sperma dan penis.5
Istilah sex mengacu pada perbedaan
biologis, sedangkan istilah gender mengacu pada konstruksi sosial
tentang peran, tugas dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Jadi sex
itu bersifat mutlak tidak dapat dirubah sedangan gender itu bisa
berubah asalkan sesuai dengan nilai-nilai dan norma budaya di suatu
masyarakat tersebut.
Perbedaan antara gender dan sex
sebagai berikut :6
-
NoKarakteristikSexGender1.Sumber pembedaTuhanManusia (masyarakat)2.UnsurBiologis (alat reproduksi)Kebudayaan (tingkah laku)3.SifatKodrat tertentu, tidak dapat dipertukarkanHarkat, martabat,dapat dipertukarkan4.DampakTerciptanya nilai-nilai kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian dll, sehingga menguntungkan kedua belah pihak.Terciptanya norma tentang “pantas” atau “tidak pantas”. Laki-laki sering dianggap tidak pantas melakukan pekerjaan rumah tangga, perempuan tidak pantas jadi pemimpin dll, sehingga mengalahkan salah satu pihak, terutama pihak perempuan.5.KeberlakuanSepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelasDapat berubah, musiman dan berbeda antara kelas
- Faktor-faktor penyebab ketidaksetaraan gender
Ketidaksetaraan gender antara lain
disebabkan oleh mitos yang berlangsung turun temurun di masyarakat.
Mitos tersebut pada masyarakat Jawa misalnya adalah perempuan itu
mempunyai fungsi 3M: Masak,Macak,Manak (memasak, berhias, hamil dan
melahirkan). Dari 3M tersebut Manak (hamil dan melahirkan) harus
dipertahankan karena itu merupakan kodrat dari Allah. Sedangkan yang
2M lainnya itu seharusnya merupakan peran yang dapat dipertukarkan
antara laki-laki dan perempuan.7
Disini terlihat bahwasannya kedudukan laki-laki lebih tinggi dari
pada perempuan, laki-laki lebih dihormat dan disegani. Misalnya
laki-laki selalu dianggap bertindak berdasarkan rasional sedangkan
kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Kebanyakan mitos-mitos
yang muncul di masyarakat akan menguntungkan kaum laki-laki dan
mendiskreditkan kaum perempuan.8
Faktor lain yang membentuk
ketidaksetaraan gender adalah sistem kapitalis yang berlaku, yaitu
siapa yang mempunyai modal besar itulah yang menang. Laki-laki secara
fisik lebih kuat dari pada perempuan sehingga akan mempunyai peran
dan fungsi yang lebih besar dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya
saja caleg laki-laki dan perempuan, meskipun perempuan sudah diberi
kuota 30% sejak pemilu tahun 2004, namun dalam persaingan kalah
dengan laki-laki yang mempunyai uang jauh lebih banyak, karena selama
ini laki-laki sudah berada di peran publik dan berkesempatan
memproleh banyak uang. Sedangkan permpuan baru sebagai pemula yang
tadinya hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa pemilih sering dapat “dibeli” dengan sedikit uang
dalam amplop, tentu “pembeli” suara adalah Caleg dengan kapital
besar.9
Usaha yang harus dilakukan untuk
mencapai kesetaraan gender nampaknya bukan hanya bersifat individual,
namun harus secara bersama dan bersifat institusional, utamanya dari
pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dan memegang peran dalam
proses pembentukan gender. Negara atau pemerintah mempunyai peran
penting dan andil dalam keseimbangan gender.10
- Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender
Perbedaan gender telah melahirkan
sikap untuk berlaku tidak adil, mendominasi bahkan menganggap pihak
lain sebagai musuh, ketidakadilan yang bermula dari ketidakadilan
gender ini merupakan kondisi tidak adil akibat sistem dan struktur
sosial di mana baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi korban
dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan baik secara langsung ( perlakuan dan sikap )
maupun tidak langsung ( dampak peraturan dan kebijakan ). Telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan yang kemudian mengakar dalam
sejarah peradaban, adat, norma, nilai dan struktur yang ada di
masyarakat. 11
Ketidakadilan gender terjadi karena
adanya keyakinan atau diperkuat dengan unsur pembenaran yang
ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk.
Ketidakadilan gender lebih banyak menimpa perempuan, tetapi hal
demikian tidak menutup kemungkinan bahwasannya laki-laki pun
mengalami ketidakadilan. Atau, laki-laki menerima dampak
ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. 12
Ketidaksetaraan gender adalah suatu
kondisi dan status yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki
untuk memperoleh kesempatan serta menikmati hak-haknya sebagai
manusia, sehingga salah satu atau keduanya tidak dapat berperan aktif
dalam pembangunan. Ada penilaian dan pengahargaan yang tidak setara
oleh masyarakat dalam hubungan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan.13
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
Terdapat banyak bentuk ketidakadilan
gender yang terdapat dimasyarakat, beragam bentuk ketidakadilan itu
lebih banyak menimpa perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
- Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan) perempuan
Hal ini banyak terjadi di masyarakat.
Namun pemiskinan perempuan maupun laki-laki yang di sebabkan karena
perbedaan jenis kelaminnya. Contoh yang paling kasat mata terjadi
dalam dunia industri dan politik. Dalam industri kebanyakan tenaga
kerja wanita itu tersingkirkan. Karena teknologi tersebut tidak
menghendaki kehadirannya. Akhirnya para pekerja perempuan tersingkir
dan masuk kesektor-sektor yang tidak berteknologi, karena hanya
mengandalkan ketelitian,kecekatan dan fisik, bukan kadar intelektual.
Kesejahteraan perempuan kian menurun karena ia diupah rendah. Olah
karenanya tidak mengherankan bila data statistik indonesia
mengungkapkan kemiskinan dialami 70% oleh perempuan. Fakta ini banyak
kita dapat di industri-industri berskala besar , seperti industri
rokok. Disini terdapat banyak perempuan yang hanya bekerja sebagai
buruh pelinting rokok.14
- Sub ordinasi
Sub ordinasi adalah keyakinan bahwa
salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting, lebih su perior
lebih intelektual,sedangkan jenis kelamin lainnya dianggap tidak
penting, hanya komplemen (pelengkap), inferior, dan lebih emosional.
Di wilayah domestik (rumah tangga) perempuan hanya di tempatkan
sebagai pendamping suami. Fenomena ini jelas terlihat dan berakar
kuat dalam tradisi, nilai, norma masyarakat, sehingga tidak heran
lagi bila kemudian muncul kultur jawa bahwasannya wanita
ateges kanca wingking (perempuan
merupakan teman di belakang). Karena wanita artinya wani
ditata (wanita
artinya mau diatur).15
Oleh karena posisinya tersebut
perempuan menjadi tidak penting untuk diajak secara bersama-sama
terlibat dalam berbagai aspek pembangunan. Alasannya karena perempuan
itu kurang dalam intelektualnya, dan lebih banyak kadar emosionalnya.
Karena alasan tersebut perempuan dijauhkan dari struktur
kepemimpinannya.16
- Pelabelan (Steriotipe)
Pelabelan (Steriotipe) merupakan
sebutan yang dilekatkan pada perempuan yang memberikan citra negatif.
Misalnya “perempuan itu sebagai penggoda, menimbulkan maksiat”.
Pelabelan ini sangat merugikan kaum perempuan karena telah terjadi
penyudutan dan prasangka eksistensi perempuan. Dampaknya, karena
label tersebut perempuan perlu dicurigai keberadaannya, karena
dimanapun tempat ia akan menimbulkan maksiat. Dampak dari label
tersebut telah menggiring perempuan untuk tidak keluar malam agar
tidak terjadi yang namanya pemerkosaan. Padahal pemerkosaan itu
terjadi lantaran kaum laki-laki tidak bisa mengontrol atau menjaga
nafsunya tersebut. Akan tetapi dalam hal ini lagi-lagi yang di
salahkan adalah pihak perempuan, karena pihak perempuan sudah dilabel
sebagai penggoda.17
- Kekerasan (Violence)
Berbagai kekerasan meluap di
masyarakat, dan sebagian besar korbannya adalah perempuan. Kekerasan
ini banyak terjadi dalam permasalahan rumah tangga yang biasanya
disebut KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Dalam hal ini kekerasan
tidak hanya dilakukan dalam tindakan kekerasan seperti memukul,
bahkan menghina, mencacimaki itu juga termasuk dalam kategori
tindakan kekerasan.18
Beberapa perilaku yang dapat dikategorikan dalam kekerasan gender
diantaranya adalah sebagai berikut :
- Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk juga dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan.
- Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).
- Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation)
- Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan.
- Keenam, kekerasan dalam bentuk sterilisasi dalam KB (enforced sterilization). KB di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan.
- Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat umum, terutama didalam bus.
- Kedelapan, pelecehan seksual (sexual and emotional harrasment). Bentuk pelecehan seksual diantaranya adalah : menyampaikan lelucon kotor/jorok secara vulgar kepada seseorang dengan cara dirasakan dengan sangat ofensif; menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor; menginterogasi seseorang tentang kehidupan seksual pibadinya dan lain-lain.19
Berbicara mengenai pendekatan gender
kurang lengkap sebelum membicarakan pendekatan feminis. Sebab dapat
dikatakan bahwa gender itu sendiri adalah bagian dari feminis,
diantaranya yang terpenting ada 4 yakni :
Feminisme
liberal
Feminisme liberal adalah teori yang
beranggapan bahwa latar belakang dan ketidakmampuan kaum wanita
bersaing dengan laki-laki adalah karena kelemahan kaum wanita
sendiri, yaitu akibat kebodohan dan irrasional yang berpegang teguh
pada nilai-nilai tradisional. Maka akar kebebasan ( freedom ) dan
kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara hidup dan
privat publik.
Feminisme
Radikal
Yaitu teori yang berpendapat bahwa
akar penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah jenis kelamin
itu sendiri ( biologi ) dan ideologi patriakirnya. Dengan ungkapan
lain, penindasan terhadap wanita terjadi karena dominasi laki-laki
terhadap perempuan dan adanya kepercayaan di masyarakat bahwa
laki-laki memang lebih mampu dari pada perempuan
Feminisme
Marxisme
Adalah aliran yang berpendapat bahwa
penyebab penindasan adalah bagian dari penindasan kelas dalam
hubungan produksi, dan penindasan merupakan kelanjutan sistem
eksploitasi yang bersifat struktur. Karena itu, mereka berpendapat,
patriarki atau kaum laki-laki bukan permasalahan seperti yang
dipegang kelompok radikal, tetapi sistem kapitalis. Maka
penyelesaiannya adalah harus bersifat struktural, yaitu dengan
melakukan perubahan struktur kelas. Perubahan struktur kelas inilah
yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Perubahan struktural belum
cukup karena perempuan masih dirugikan dengan tanggung jawab
domestik. Jalan keluarnya adalah urusan rumah tangga ditranformasikan
menjadi urusan sosial, dan urusan menjaga, mendidik dan membesarkan
anak menjadi urusan publik. Dengan perspektif ini diyakini emansipasi
perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan
berhenti mengurus rumah tangga.
Feminisme
Sosial
Menurut teori ini sumber
ketidakadilan adalah karena penilaian dan anggapan terhadap perbedaan
biologi laki-laki dan perempuan (kontruksi sosial). Maka yang
diperangi feminisme sosial adalah kontruksi visi dan ideologi
masyarakat serta struktur dan sistem yang dibangun atas bias gender.
Feminisme
islam
Menurut teori ini islam memberikan
kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan karya (
amal). Karena sesungguhnya, Allah melihat derajat manusia dari segi
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Menjalankan segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan yang telah ditentukannya. Kemudian
menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman dalam menjalankan
kehidupan. Bahkan dalam islam sangat menjunjung tinggi perempuan.
Walaupun ada surat dalam Al-Quran yang menyebutkan bahwasanya
laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan. Namun, apabila dilihat
dari sisi ilmiah maksud dari ayat tersebut bahwa, kaum laki-laki
sebagai pelindung kaum wanita karena kemulyaannya dalam agama islam.
Bahkan Rasulullah mengatakan surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Apakah tidak benar-benar terlihat bagaimana islam benar-benar
memuliakan wanita.20
Isu isu gender
dalam berbagai bidang :
- Isu gender dalam hukum adat (Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan Dan Hukum Waris)
Hukum adat sebagai hukumnya rakyat
Indonesia dan tersebar di seluruh Indonesian dengan corak dan sifat
yang beraneka ragam. Hukum adat sebagai hukumnya rakyat Indonesia
terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang sebagian besar tidak tertulis
yang dibuat dan ditaati oleh masyarakat dimana hukum adat itu
berlaku. Hukum adat terdiri dari berbagai lapangan hukum adat antara
lain hukum adat pidana, tata negara, kekeluargaan, perdata,
perkawinan dan waris. Hukum adat dalam kaitan dengan isu gender
adalah hukum kekeluargaan, perkawinan dan waris. Antara hukum
keluarga, hukum perkawinan dan hukum perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat karena ketiga lapangan hukum tersebut merupakan
bagian dari hukum adat pada umumnya dan antara yang satu dengan yang
lainnya saling bertautan dan bahkan saling menentukan.
- Isu gender dalam perundang-undangan
Perjuangan emansipasi perempuan
Indonesia yang sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang
dipelopori oleh R.A. Kartini, dan perjuangannya kemudian mendapat
pengakuan setelah Indonesia merdeka. Pengakuan itu tersirat dalam
Pasal 27 UUD’45 akan tetapi realisasi pengakuan itu belum
sepenuhnya terlaksana dalam berbagai bidang kehidupan.21
Hal ini jelas dapat diketahui dari produk peraturan
perundangan-undangan yang masih mengandung isu gender di dalamnya,
dan oleh karenannya masih terdapat diskriminasi terhadap perempuan.
Contoh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di mana seolah-olah
undang-undang tersebut melindungi perempuan dengan mencantumkan asas
monogami di satu sisi akan tetapi di sisi lain membolehkan bagi suami
untuk berpoligami tanpa batas jumlah wanita yang boleh dikawin. Dalam
membahas masalah diskriminasi terhadap perempuan maka yang dipakai
sebagai dasar acuan adalah Ketentuan Pasal 1 U U No. 7 Tahun 1984,
yang berbunyi sebagai berikut : Untuk tujuan konvensi yang sekarang
ini, istilah “diskriminasi terhadap wanita” berarti setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas
dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan
wanita. Mencermati ketentuan Pasal 1 tersebut diatas maka
istilah diskriminasi terhadap perempuan atau wanita adalah setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan atas dasar jenis kelamin maka
terdapat peraturan perundang-undangan yang bias jender seperti
Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lainnya.
- Isu gender dalam pendidikan
Dalam berbagai
masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita
jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak
mendukung bahkan melarang keikutsertaan wanita dalam pendidikan
formal. Ada nilai yang mengemukakan bahwa ” wanita tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan ke dapur juga”. Ada
yang mengatakan bahwa wanita harus menempuh pendidikan yang dianggap
oleh orang tuanya sesuai dengan kodrat wanita dan ada yang
berpandangan bahwa ”seorang gadis sebaiknya menikah pada usia muda
agar tidak menjadi perawan tua”. Atas dasar nilai dan aturan
demikian yang ada masyarakat yang mengizinkan wanita bersekolah tapi
hanya sampai pada jenjang tertentu atau dalam jenis pendidikan
tertentu saja. Ada pula masyarakat yang sama sekali tidak membenarkan
anak gadisnya untuk bersekolah. Sebagai akibat ketidaksamaaan
kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dijumpai ketimpangan
dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal. Prestasi akademik
maupun motivasi belajar sering bukan merupakan penghambat
partisipasi wanita, karena siswi yang berprestasi pun sering tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
- Isu gender dalam pekerjaan
Apabila orang
membahas pekerjaan yang dilakukan wanita maka yang dibayangkan
mungkin hanyalah pekerjaan yang dijumpai di ranah publik: pekerjaan
di tempat kerja formal seperti pabrik dan kantor, pekerjaan dalam
perekonomian formal. Pada umumnya orang melupakan bahwa di rumahpun
wanita sering melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan dana. Ada
yang menawarkan berbagai jenis jasa, ada yang melakukan perdagangan
eceran, memproduksi hasil pertanian, kehutanan, perkebunan,
peternakan maupun produk lain yang dipasarkan. Moore and Sinclair
(1995) mendefinisikan dua macam segregasi jenis kelamin dalam
angkatan kerja yaitu segregasi vertikal dan segregasi horizontal.
Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerjaan wanita
pada jenjang rendah pada organisasi, seperti misalnya jabatan
pramuniaga, sales promotion girl, pramusaji, tenaga kebersihan
pramugari, pengasuh anak, sekretaris, kasir, dan sebagainya.
Sedangkan segregasi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan
wanita sering terkonsentrasi pada jenis pekerjaan yang berbeda dengan
jenis pekerjaan laki-laki, memberi kesan seakan-akan jenis pekerjaan
tertentu relatif tertutup bagi kaum wanita seperti misalnya di bidang
ilmu pengetahuan alam dan technologi.
Keadilan dan Kesetaraan Gender
Keadilan dan Kesetaraan Gender adalah
suatu kondisi yang adil dan setara dalam hubungan kerjasama antara
perempuan dan laki-laki. Tolak ukuran yang perlu diperhatikan dalam
KKG adalah terciptanya kesamaan kondisi dan status antara laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh kesempatan dan menikmati hak-haknya
sebagai manusia sehingga dapat bersama-sama berperan aktif dalam
pembangunan. Dengan demikian ada penilaian dana penghargaan yang
antara laki-laki dan perempuan oleh masyarakat atas persamaan dan
perbedaan serta pelbagai peran mereka. Prinsip penting untuk
menciptakan KKG dalam masyarakat adalah melalui perjuangan dan upaya
terus menerus tanpa henti, penerapannya harus memperhatikan strategi
agar muatan isi dalam KKG dapat diterima oleh masyarkat. Strategi
yang harus diperhatikan adalah secara bertahap melalui sosialisasi
dan advokasi. Hasilnya memang tidak dapat dinikmati dalam tempo
sekejab, tetapi “pelan tapi pasti”, bila mana proses sosialisasi
dan advokasi terus berlangsung niscaya kondidi KKG dapat tercapai.22
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa sex merupakan
alat kelamin biologi (phisikal genital) atau jenis kelamin
berdasarkan anatomi biologis yang tidak bisa dipertukarkan dan
dirubah kecuali dengan operasi. Sedangkan gender adalah alat kelamin
budaya (cultural genital) atau suatu konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki laki dan perempuan dilihat
dari segi sosial budaya. Dan faktor terbentuknya gender itu adalah
bisa diklasifikasikan sebagai berikut :
1.terbentuk
melalui sosialisasi
2.terbentuk
melalui aparat ideologis (ideological apparatus)
3.terbentuk
malalui pembedaan dan penindasan
4.terbentuk
malalui mitos/budaya dan tradisi setempat
Kemudian manifestasi ketidakadilan
gender yang sering dan kerap terjadi di masyarakat berupa
marginalisasi, suboordinasi, stereotip, kekerasan (violence).
sedangkan konsep gender dalam berbagai bidang seperti di dalam hukum
adat, di berbagai macam daerah kedudukan wanita dan pria seakan akan
berbeda, sedangkan dalam perundang undangan sudah jelas dikatakan
bahwa antara pria dan wanita itu kedudukannya setara, namun dalam
pengaplikasiannya di masyarakat tidak menunjukkan kesetaraan dan
justru budaya patriarki yang nampak menonjol. Untuk bidang pendidikan
sendiri secara tidak langsung muncul doktrin bahwa wanita tidak harus
menuntut ilmu yang tinggi, karena pada nantinya juga mereka akan
didapur dan merawat anak, dan dalam bidang pekerjaan untuk wanita
selalu dinomor duakan. Langkah atau usaha yang harus dilakukan untuk
mencapai kesetaraan gender nampaknya bukan hanya bersifat individual,
namun harus secara bersama dan bersifat institusional, utamanya dari
pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dan memegang peran dalam
proses pembentukan gender. Negara atau pemerintah mempunyai peran
penting dan andil dalam keseimbangan gender.
Daftar
Pustaka
- Muawanah, Elfi, M. Pd, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia,Yogyakarta, Teras, 2009.
- UUD’45 , Bab X tentang warga negara dan penduduk, pasal 27
- Relawati, Rahayu, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung, Muara Indah, 2011.
- Darmawan, Andy, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta, Pokja Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005.
- Agama, Departemen(sekretariat Jendral), Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Gender, 2005.
- Abdi wisma tradisi, Modul PKD PMII Wisma Tradisi 2014, Yogyakarta, CV Lingkar Media, 2014.
1
Rahayu Relawati,”Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender”,Muara
Indah,Bandung:2011. Hal.4
2
Ibid.4
3
Ibid.4
4 Elfi
Muawanah,M. Pd,”Pendidikan Gender dan Hak Asasi
Manusia”,Teras,Yogyakarta:2009. Hal.1
5
Rahayu Relawati,”Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender”,Muara
Indah,Bandung:2011. Hal.3
6
Ibid.5
7
Ibid.6
8
Ibid.7
9
Ibid.7
10
Ibid.8
11 Departemen
Agama (sekretariat Jendral),”Sosialisasi Keadilan dan
Kesetaraan Gender”,2005, halm.8
12 ,.ibid,hlm.9
13 ,.ibid,hlm.9
14 ,.ibid,hlm.10
15 ,.ibid,hlm.11
16 ,.ibid,hlm.12
17 ,.ibid,hlm.12
18 ,
Abdi wisma tradisi, “Modul PKD PMII Wisma Tradisi
2014”,(Yogyakarta: CV Lingkar Media, 2014)hlm. 140
19
Ibid, hlm.141
20
Andy Darmawan”, Pengantar
Studi Islam”,(Yogyakarta
: Pokja Akademika UIN Sunan Kalijaga, 2005). hlm. 155
21
UUD’45 , Bab X tentang warga negara dan penduduk, pasal 27
22 ,.ibid,
hlm. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar